Muhammadiyah Minta Menteri ATR/BPN Beri Penjelasan Soal Pagar Laut di Tangerang

Yakub Pryatama Wijayaatmaja
15/1/2025 20:43
Muhammadiyah Minta Menteri ATR/BPN Beri Penjelasan Soal Pagar Laut di Tangerang
Pagar laut terpasang di kawasan pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (9/1/2025) .(Antara/Sulthony Hasanuddin)

MUHAMMADIYAH meminta agar Kementerian ATR/BPN segera beri penjelasan soal pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer di Tangerang, maupun di perairan Bekasi.

Terkait dengan hal tersebut, jika merujuk pada website Bhumi Kementerian ATR/BPN, pagar laut itu adalah bagian dari proyek PIK 2 dengan status Hak Guna Bangunan (HGB).

Anggota Bidang Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah Parid Ridwanuddin, menegaskan seharusnya tidak boleh ada HGB di atas permukaan laut. Hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2010 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Tidak boleh ada HGB, itu bertentangan dengan putusan MK nomor 10. Laut milik bersama, tidak boleh ada pembatasan, sehingga orang-orang kesulitan untuk mengakses laut,” tegas Parid kepada Media Indonesia, Rabu (15/1)

“Kalau itu ternyata HGB harus dicabut oleh pemerintah. Karena tak boleh ada HGB atas laut. Jadi laut itu bukan objek rezim pertanahan ,” tambahnya.

PP Muhammadiyah juga memandang bahwa pemasangan pagar laut adalah upaya dari perampasan ruang laut atau ocean grabbing. Ocean grabbing mengacu pada perampasan penggunaan, kontrol atau akses terhadap ruang laut atau sumber daya dari pengguna sumber daya sebelumnya, pemegang hak atau penduduk.

Menurutnya, perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis.

Parid berpendapat perampasan laut dapat dilakukan oleh lembaga publik atau kepentingan pribadi. Ocean grabbing dapat disebut sebagai kebijakan publik yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil.

“Aktor utama ocean grabbing adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi,” tuturnya.

Beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi dan kebijakan berbasis pasar yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut.

Pada titik ini, kata Parid, pemerintah dapat disebut sebagai aktor atau perantara utama yang mengalokasikan bagaimana, untuk tujuan apa, dan oleh siapa, wilayah laut maupun lahan dapat digunakan. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.

PP Muhammadiyah juga menyerukan kepada pemerintah untuk serius mengevaluasi dan mengoraksi Proyek Strategis Nasional di seluruh tempat di Indonesia, baik di hutan, wilayah pertanian, wilayah perkotaan, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, dengan pertimbangan proyek ini telah memicu konflik yang sangat luas dan melanggengkan krisis lingkungan hidup serta semakin memiskinkan masyarakat di tingkat tapak.

Parid menuturkan temuan PP Muhammadiyah di berbagai wilayah, PSN juga memicu bencana ekologis berupa banjir. Dalam Konteks pagar laut, Muhammadiyah melihat ini terhubung ke PSN PIK 2.

Muhammadiyah, lanjut Parid, punya kepentingan untuk menjamin kehidupan yang layak untuk nelayan di Indonesia.  Oleh karena itu, apapun yang akan menggangu kehidupan nelayan harus dievaluasi dan dihilangkan.

“Sebagai bentuk keseriusan PP Muhammadiyah melawan pagar laut dan mendukung nelayan, Lembaha Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) telah melayangkan somasi kepada pihak yang membangun pagar laut. Lebih lanjut, Muhammadiyah akan menempuh jalur hukum,” tandasnya. (J-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eksa
Berita Lainnya