Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
KOORDINATOR Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya mewakili Koalisi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden RI kedua Soeharto.
Hal itu diungkapkan Dimas usai Gemas menyerahkan surat yang sudah diterima oleh Sekretariat Umum MPR RI. Adapun isi surat tersebut berisi aspirasi bahwa gelar pahlawan kepada Soeharto seharusnya tidak diberikan oleh negara.
“Kami sampaikan surat desakan dari koalisi yang terdiri dari 87 lembaga dan juga 67 individu untuk melakukan penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto,” tegas Dimas, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11).
Hal itu didasari adanya pencabutan terhadap 3 TAP MPR termasuk TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang menghapuskan nama Soeharto dalam praktik kolusi-korupsi nepotisme oleh Ketua MPR RI saat itu Bambang Soesatyo.
“Jadi kami melihat bahwa pencabutan nama Soeharto itu bisa dipakai untuk melegitimasi beberapa manuver-manuver dari negara untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto tanpa kemudian melihat kejahatan-kejahatan dan juga praktik-praktik yang merugikan negara selama era kepemimpinan Soeharto 32 tahun dari mulai tahun 1966 sampai 1998,” tuturnya.
Dari Pasal dari undang-undang GTK atau Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan, ada sejumlah klausul yang harus dipertimbangkan.
Menurutnya, klausul pembelian gelar pahlawan harus didasarkan pada rasa keadilan rasa kemanusiaan dan juga rasa persatuan dan kesatuan.
Dimas menerangkan orang yang diberikan gelar pahlawan itu harus punya integritas, punya satu tindakan-tindakan yang mencerminkan negarawan dan juga pahlawan, yang bersumbangsih terhadap kemajuan bangsa dan negara.
“Tapi kami melihat dengan sejumlah fakta dan juga sejumlah kejahatan yang dilakukan oleh Soeharto selama masa kepemimpinan 32 tahun mulai dari pelanggaran HAM berat pelanggaran HAM dan juga kekerasan negara, praktik korupsi-kolusi nepotisme kejahatan pembunuhan kejahatan lingkungan dan agraria,” tuturnya. (H-3)
KANTOR Kontras di Jalan Kramat II, Kwitang, Jakarta Pusat didatangi tiga orang tidak dikenal pada Minggu (16/3) dini hari, sekitar pukul 00.16 WIB
KETUA Komisi I DPR RI Utut Adianto menyikapi adanya kritik dan aksi protes yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil, khususnya KontraS terhadap revisi UU TNI.
KOORDINATOR Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya Saputra mengaku mendengar Revisi UU TNI akan disahkan sebelum Lebara 2025.
Jika revisi undang-undang (RUU) TNI disahkan, peran militer dalam tata kelola negara dan urusan sipil akan semakin besar.
Pemangkasan anggaran sebaiknya tak dilakukan karena memberikan dampak buruk bagi penuntasan kasus HAM di Indonesia.
Kontras mencatat bahwa Kepolisian masih menempati klasemen teratas sebagai institusi dengan peristiwa penyiksaan terbanyak
Warisan otoritarianisme masih tetap dirasakan sampai saat ini. Amnesty International Indonesia menilai, peringatan 27 tahun reformasi justru diwarnai dengan erosi hak asasi manusia (HAM).
Hariman Siregar menyampaikan bahwa pertemuan mereka hari ini memiliki kesamaan tanggal dengan jatuhnya Soeharto dari Presiden ke-2.
Aktivis 1998 dari berbagai kelompok dan daerah akan menggelar Sarasehan Aktivis Lintas Generasi, pada Rabu 21 Mei 2025.
Reformasi yang sudah susah payah dicapai Indonesia pasca 32 tahun Soeharto berkuasa, kini dipaksa putar balik kembali.
Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional karena banyaknya kejahatan yang dilakukan.
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Sosial (Kemensos), menolak usulan pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved