Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PENELITI Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Formappi Lucius Karus menyebut DPR terlalu memaksakan atau buru-buru dalam membahas RUU Kementerian Negara dan RUU Imigrasi. Pasalnya, kata Lucius, DPR hanya memiliki waktu efektif selama satu minggu guna membahas RUU tersebut.
Ia tidak sependapat dengan DPR yang sebelumnya menyetujui Badan Legislasi (Baleg) mulai membahas RUU Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Baleg bahkan telah mengusulkan jumlah kementerian akan disesuaikan dengan kebutuhan presiden.
"Padahal kita tahu ada setumpuk kesibukan lain yang tak bisa tidak mengganggu fokus DPR dalam bekerja di penghujung periode, seperti kesibukan mengikuti pilkada, kesibukan mengemas barang jelang perpindahan ruang kerja, siap-siap pelantikan bagi yang terpilih lagi,” terang Lucius, Kamis (5/9/2024).
Baca juga : Baleg Pastikan RUU Kementerian Negara Jadi RUU Inisiatif DPR
Dengan waktu yang terbatas, Lucius mempertanyakan bagaimana DPR akan menjamin ada pembahasan yang partisipatif terhadap dua RUU tersebut.
Apalagi, Lucius menyebut sudah ada sejumlah RUU lain yang sudah dalam tahap pembicaraan tingkat 1.
“Jadi fokus DPR jelas tak bisa diharapkan mampu untuk memastikan ada pembahasan yang serius terkait materi di dalam RUU-RUU itu. Mungkin DPR lupa bahwa urusan materi atau substansi RUU-RUU itu bukan hanya urusan mereka saja. RUU yang dibahas DPR itu akan berdampak pada seluruh rakyat Indonesia,” tambahnya.
Baca juga : Panja RUU Kementerian Negara Sepakat Mengubah Beberapa Pasal
Ia mencontohkan ketika DPR suka-suka membahas revisi UU Pilkada dalam waktu tak lebih dari sehari. Pembahasan kilat ala RUU Pilkada itu membuat masyarakat marah terhadap DPR karena secara absolut memperlihatkan arogansi anggota parlemen yang melupakan asal kekuasaan mereka yaitu rakyat sendiri.
“Saya kira dengan pengalaman dari proses revisi UU Pilkada itu, seharusnya DPR belajar sesuatu hal yang penting. Bahwa ketika mereka sok powerful membuat sebuah RUU, saat itu pulalah kemarahan rakyat akan menjadi hambatan serius yang harus dihadapi dan siap memporakporandakan rencana yang mungkin agak nakal dan sewenang-wenang,” ungkap Lucius.
Menurutnya, DPR tak perlu berambisi menghasilkan banyak RUU di akhir periode walaupun sampai sekarang hanya sekitar 30 selama 5 tahun dari 259 daftar Prolegnas 2020-2024.
“Jadi partisipasi publik jangan dianggap sebagai formalitas saja. Pembahasan 2 RUU penting untuk kepentingan menyenangkan rejim yang akan datang akan berpotensi mengabaikan kepentingan publik jika waktu pembahasan yang tersedia tinggal sepekan dua pekan saja,” tandasnya. (Ykb/P-3)
FORUM Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut DPR seperti pahlawan kesiangan karena baru getol membela rakyat jelang Pemilu 2024.
Kegarangan DPR mempersoalkan kasus-kasus lawas di masa sidang III tidak didorong oleh motif kemanusiaan untuk membela korban, tetapi lebih karena pertimbangan politic electoral semata,
Ada pihak yang ingin mempolitisasi pengesahan RUU PPRT untuk kepentingan Pemilu 2024.
Menko Polhukam Mahfud MD menyinggung soal riset Transparency International Indonesia (TII) soal tingkat korupsi terbanyak berada di DPR.
PARTAI Amanat Nasional (PAN) dinilai memiliki kekuatan untuk mengubah peta koalisi partai politik untuk Pilpres 2024.
ANGGARAN Pemilu 2024 yang mencapai angka fantastis sebesar Rp76 triliun tentu saja harus dikelola dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Komnas HAM meminta aparat keamanan untuk tidak menggunakan tindakan kekerasan dalam menjaga keamanan, serta mengedepankan pendekatan yang lebih humanis dan terukur
KAUKUS Muda Betawi merampungkan draf usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Polisi menangkap 301 orang terkait aksi unjuk rasa revisi Undang-Undang Pilkada yang berakhir ricuh kemarin. Saat ini 112 orang di antaranya sudah dipulangkan.
Swedia memiliki UU mengenai kebebasan berekspresi dan protes, tetapi UU tersebut seharusnya tidak melewati batas hingga mengarah pada ujaran kebencian.
Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menilai pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang dilakukan DPR RI belum perlu dibahas.
Dalam pasal itu, ketentuan pidananya ialah hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved