Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SETELAH Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 60 dan 70 terkait pencalonan kepala daerah yang akhirnya diakomodasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) lewat Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10/2024, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini berencana mengevaluasi MK. Langkah DPR dinilai sebagai serangan balik terhadap MK.
"Ini kelihatan betul serangan balik," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi atau Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura kepada Media Indonesia, Kamis (29/8/2024).
Menurut Charles, apa yang dilakukan MK saat mengeluarkan putusan 60 dan 70 menjadi bagian integral dari kerja-kerja lembaga tersebut. Ia juga menilai tak ada yang salah dari putusan itu. Terlebih, hal itu juga dilindungi oleh prinsip kekuasaan kehakiman.
Baca juga : Tok! DPR Sahkan Revisi PKPU Pilkada Sesuai Putusan MK
Baginya, langkah DPR untuk mengevaluasi MK adalah reaksi langsung karena putusan MK, khususnya nomor 60, memorakporandakan rencana partai politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang memiliki perwakilan di Senayan.
Charles menegaskan, kehadiran MK di Indonesia adalah untuk memastikan segala peraturan dan tindakan yang dibentuk pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, sesuai dengan konstitusi.
Ia mengatakan, putusan MK terkait pilkada tak ubahnya dengan Putusan Nomor 90 Tahun 2023 lalu yang membuka jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai calon wakil presiden. Oleh karena itu, Charles mempertanyakan mengapa sikap DPR berubah saat MK mengeluarkan putusan yang dinilai merugikan partai politik.
Baca juga : Dianggap Kerjakan yang Bukan Wewenangnya, DPR Akan Evaluasi Posisi MK
"Artinya, kemarin MK berdiri di atas aspirasi publik, sementara mereka (DPR) berdiri di atas aspirasi kepentingan politiknya, karena mereka punya kuasa, lalu mau melakukan evaluasi," terang Charles.
"Ini akan menimbulkan reaksi balik lagi dari publik," pungkasnya.
Rencana mengevaluasi MK disampaikan oleh Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung. Menurutnya, DPR bakal mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang karena dinilai mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangan MK.
Baca juga : Putusan MK Nomor 60 Bikin Pede Partai Politik Usung Kader Sendiri
"Karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," aku Doli.
Ia menyinggung salah satu contoh tindakan MK terkait pilkada yang dinilai sudah masuk ke hal-hal teknis. Sehingga, pihaknya menganggap MK sudah melampaui batas kewenangan.
"Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga," tandasnya. (Tri/P-3)
ANGGOTA Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia menilai program Sekolah Rakyat akan berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan sekolah gratis.
Presiden menjelaskan bahwa lembaga pendidikan merupakan penentu apakah suatu bangsa akan berhasil atau tidak.
Kepala Suku Dinas (Sudin) Pendidikan Wilayah II Jakarta Barat Diding Wahyudin menyebut empat sekolah itu berada di Kecamatan Grogol Petamburan dan Kebon Jeruk.
Haedar berpendapat, implementasi hal tersebut, yakni sekolah swasta gratis bukan hal yang mudah diimplememtasikan di negara besar dengan penduduk lebih dari 281 juta jiwa.
GUBERNUR DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan pihaknya akan mempercepat pelaksanaan program sekolah swasta gratis yang direncanakan uji coba dalam waktu dekat.
Putusan MK ini, merupakan tonggak penting dalam kemajuan hak asasi manusia di Indonesia, utamanya pada sektor pendidikan
Ia mengajak berbagai pihak untuk lebih mencermati hak dan kewenangan Kejagung apabila ingin mempersoalkannya ke MK.
Putusan MK bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur dalam konstitusi, dan tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan pemakzulan.
Keinginan untuk menurunkan batas usia menjadi lebih rendah dari 40 tahun, batas usia paling rendah 40 tahun dapat disepadankan dengan jabatan publik yang pernah atau sedang dijabat seseorang.
Ketentuan yang hanya mensyaratkan pendidikan capres-cawapres paling rendah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat, tidak memadai untuk menjamin kualitas kepemimpinan nasional.
Jika data pemerintah pada tahun ini anak yang mau masuk sekolah jumlahnya mencapai seribu anak, tugas pemerintah adalah memastikan seribu anak ini mendapatkan haknya
Menurut Ina Liem, yang sesungguhnya dimaksud dalam putusan MK adalah bentuk bantuan operasional, mirip skema dana BOS, yang selama ini sudah diberikan ke sebagian sekolah swasta.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved