Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mengkritisi Ide Negara Kesejahteraan

Media Indonesia
24/12/2023 13:41
Mengkritisi Ide Negara Kesejahteraan
Ilustrasi(MI/ Duta)

KONSEP negara kesejahteraan dianggap sebagai sebuah tragedy of the commons. Imam Syadzli dari Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) mengungkapkan, orang saling berebut manfaat dari program-program kesejahteraan, namun enggan bertanggung jawab dalam penyediaannya.

Demikian disampaikan Imam yang bertindak sebagai salah satu pembicara dalam peluncuran dan diskusi buku Setelah Negara Kesejahteraan (2023) di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, Jumat (22/12).

Baca juga: Boleh Kritik Presiden bukan Berarti Demokrasi Baik-baik Saja
 
Sementara, aktivis Students For Liberty Raina Salsabila mengajak anak muda kritis terhadap ide negara kesejahteraan. “Anak muda harus mempertanyakan apakah konsep kesejahteraan yang mana semua dibiayai oleh negara ini benar-benar bermanfaat,” ujarnya lewat keterangan yang diterima, Minggu (24/12)

Raina menambahkan, jika segala kebutuhan masyarakat ditanggung oleh negara, ia khawatir pemerintah akan berlebihan dalam mengintervensi kehidupan warganya. “Itu berbahaya bagi demokrasi,” ungkapnya.

Baca juga:Perlu Kebijakan Radikal untuk Sejahterakan Guru

Pembicara lain dari Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) Nanang Sunandar menambahkan, para politisi sering mengobral janji saat berkampanye untuk mencalonkan diri di lembaga eksekutif maupun legislatif. Mereka menjanjikan program-program ala negara kesejahteraan, di mana bermacam kebutuhan masyarakat dibiayai negara.

Celakanya, Nanang, program ala negara kesejahteraan tersebut tidak hanya berbahaya bagi ekonomi, tetapi juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Meski terdengar manis, ujar Nanang, janji-janji ala negara kesejahteraan merugikan masyarakat sendiri, terutama generasi yang akan datang.

Karena uang untuk memenuhi janji-janji populis ala negara kesejahteraan dibebankan pada APBN, utang negara bisa membengkak. “Dampaknya, bayi yang baru lahir sudah menanggung beban utang yang begitu banyak karena janji-janji para politisi. Generasi di masa yang akan datang diwarisi beban ekonomi oleh para politisi pengobral janji kesejahteraan” kata penerjemah buku Setelah Negara Kesejahteraan ini.

Senada dengan Nanang, ekonom Poltak Hotradero mengatakan bahwa negara demokrasi seperti Indonesia memungkinkan para politisi mengobral janji-janji populis program-program kesejahteraan demi menarik suara sebanyak-banyaknya.

Karena melibatkan uang yang besar, kata Poltak, program-program kesejahteraan menimbulkan administrasi dan birokrasi yang gemuk serta ongkos yang sangat besar. “Hati-hati dengan program yang datangnya dari atas ke bawah. Saya mendukung program yang datang dari bawah ke atas,” kata Poltak.

Poltak mewanti-wanti agar kita sebagai masyarakat tidak menyerahkan segala urusan personal kepada negara. “Saya adalah yang kritis dalam istilah negara harus hadir. Banyak hal yang perlu kita selesaikan sendiri. Kita sebagai orang yang mencintai demokrasi dan tahu kelemahan demokrasi harus cerdas,” pungkasnya. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya