Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
KONSEP negara kesejahteraan dianggap sebagai sebuah tragedy of the commons. Imam Syadzli dari Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) mengungkapkan, orang saling berebut manfaat dari program-program kesejahteraan, namun enggan bertanggung jawab dalam penyediaannya.
Demikian disampaikan Imam yang bertindak sebagai salah satu pembicara dalam peluncuran dan diskusi buku Setelah Negara Kesejahteraan (2023) di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, Jumat (22/12).
Baca juga: Boleh Kritik Presiden bukan Berarti Demokrasi Baik-baik Saja
Sementara, aktivis Students For Liberty Raina Salsabila mengajak anak muda kritis terhadap ide negara kesejahteraan. “Anak muda harus mempertanyakan apakah konsep kesejahteraan yang mana semua dibiayai oleh negara ini benar-benar bermanfaat,” ujarnya lewat keterangan yang diterima, Minggu (24/12)
Raina menambahkan, jika segala kebutuhan masyarakat ditanggung oleh negara, ia khawatir pemerintah akan berlebihan dalam mengintervensi kehidupan warganya. “Itu berbahaya bagi demokrasi,” ungkapnya.
Baca juga:Perlu Kebijakan Radikal untuk Sejahterakan Guru
Pembicara lain dari Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) Nanang Sunandar menambahkan, para politisi sering mengobral janji saat berkampanye untuk mencalonkan diri di lembaga eksekutif maupun legislatif. Mereka menjanjikan program-program ala negara kesejahteraan, di mana bermacam kebutuhan masyarakat dibiayai negara.
Celakanya, Nanang, program ala negara kesejahteraan tersebut tidak hanya berbahaya bagi ekonomi, tetapi juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Meski terdengar manis, ujar Nanang, janji-janji ala negara kesejahteraan merugikan masyarakat sendiri, terutama generasi yang akan datang.
Karena uang untuk memenuhi janji-janji populis ala negara kesejahteraan dibebankan pada APBN, utang negara bisa membengkak. “Dampaknya, bayi yang baru lahir sudah menanggung beban utang yang begitu banyak karena janji-janji para politisi. Generasi di masa yang akan datang diwarisi beban ekonomi oleh para politisi pengobral janji kesejahteraan” kata penerjemah buku Setelah Negara Kesejahteraan ini.
Senada dengan Nanang, ekonom Poltak Hotradero mengatakan bahwa negara demokrasi seperti Indonesia memungkinkan para politisi mengobral janji-janji populis program-program kesejahteraan demi menarik suara sebanyak-banyaknya.
Karena melibatkan uang yang besar, kata Poltak, program-program kesejahteraan menimbulkan administrasi dan birokrasi yang gemuk serta ongkos yang sangat besar. “Hati-hati dengan program yang datangnya dari atas ke bawah. Saya mendukung program yang datang dari bawah ke atas,” kata Poltak.
Poltak mewanti-wanti agar kita sebagai masyarakat tidak menyerahkan segala urusan personal kepada negara. “Saya adalah yang kritis dalam istilah negara harus hadir. Banyak hal yang perlu kita selesaikan sendiri. Kita sebagai orang yang mencintai demokrasi dan tahu kelemahan demokrasi harus cerdas,” pungkasnya. (P-3)
PAKAR Hukum Tata Negara mempertanyakan urgensi pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di tingkat global, tidak ada praktik serupa.
Gunjingan banyak orang bahwa NasDem adalah partai pragmatis, lagi medioker, sebenarnya dilandasi dua alasan mendasar.
KETUA DPR RI Puan Maharani menyinggung soal munculnya fenomena Negara Konoha, Indonesia Gelap, hingga bendera One Piece dalam kehidupan berdemokrasi saat sidang tahunan MPR
GEJALA kemunduran demokrasi di Indonesia dinilai semakin nyata dan mengkhawatirkan. Tanda menguatnya pola kekuasaan ala Orde Baru berpotensi menyeret ke otoritarianisme
Kritik masyarakat, termasuk melalui pengibaran bendera One Piece, sepatutnya dianggap sebagai bentuk kontrol publik terhadap pemerintah
SEKJEN Partai Gerindra Sugiono merespons usulan gubernur dipilih oleh pemerintah pusat.
Program beasiswa ini adalah bentuk penghormatan UBSI terhadap nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasi karakter bangsa.
Antusias membaktikan diri terjun ke desa, mahasiswa berbagai perguruan tinggi patahkan citra negatif Gen Z. Seperti apa cerita kiprah mereka?
Itu merupakan wujud nyata kolaborasi atau kerjasama perguruan tinggi dan masyarakat untuk mengangkat potensi lokal.
Mahasiswa diajak untuk memahami konsep dasar pengelolaan keuangan pribadi, pentingnya perencanaan keuangan sejak dini, serta mengenali risiko dan peluang dalam dunia keuangan digital.
Harimurti menambahkan ketidakpastian hukum ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan adanya variasi putusan pengadilan dalam memaknai Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009.
Pameran ini merefleksikan bagaimana gagasan mahasiswa mulai bergema di luar ruang kuliah dan memasuki industri, komunitas, dan budaya yang lebih luas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved