Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Menyoal Kesahan Legitimasi Pencawapresan Gibran

Abdillah M. Marzuqi
14/11/2023 16:05
Menyoal Kesahan Legitimasi Pencawapresan Gibran
Deklarasi pasangan capres Prabowo Subianto dan cawapres Gibran Rakabuming Raka(ANTARA FOTO/Galih Pradipta )

DOSEN Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menilai persoalan legitimasi menjadi penting dalam menghasilkan pemimpin melalui ajang pemilihan umum (pemilu). Sayangnya, landasan hukum dan konstitusi tidak secara detail mengatur hal tersebut, terlebih berkenaan dengan sebelum pancalonan.

"Itu di UUD kita, di konstitusi kita tidak diatur ketat mengatur itu. Padahal itu bagian dari legitimasi juga," terangnya pada Jumat (10/11).

Menurutnya ada tiga legitimasi yang menjadi patokan pemimpin hasil pemilihan rakyat. Pertama, legitimasi keanggotaan partai. Berapa lama menjadi anggota partai politik atau sejauh mana perannya dalam internal partai untuk bisa dicalonkan. Hal itu menyangkut pengkaderan yang dilakukan partai politik agar tidak muncul kejadian sekarang masuk partai besok menjadi ketua umum, atau malah tiba-tiba dicalonkan untuk maju di kontestasi Pilpres 2024.

Baca juga: Kubu Prabowo-Gibran Sebut Baliho Masif sebagai Bentuk Semangat Relawan

Kedua, legitimasi dalam proses kandidasi. 

"Kedua, mekanisme kandidasi. Seorang yang dicalonkan harus memenuhi syarat," sambungnya.

Baca juga: Presiden Jokowi Dinilai Sedang Mengultuskan Diri

Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) itu juga menyoroti bacawapres Gibran Rakabuming Raka yang mendampingi Prabowo Subianto. Gibran dinilai memenuhi syarat pencalonan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), kendati putusan tersebut diwarnai pelanggaran etik berat berdasarkan putusan Majelis Kehormatan MK.

"Proses-proses ini yang kemudian bicara moralitas. Dalam konteks ini, Gibran secara hukum menurut putusan MK, legal. Tapi secara proses dianggap bermasalah," sambungnya.

Ketiga adalah legitimasi elektoral. Nyarwi menyebut legitimasi itu disandarkan pada tingkat keterpilihan. Menurutnya, kalaupun nanti Gibran memenangi pertarungan, maka hanya ada legitimasi elektoral.

"Legitimasi ketiga dari pemilu. Seberapa besar pemilih melihat krisis moralitas itu. Kalau nanti seandainya terpilih, ya bearti dia mendapatkan legitimasi politik, tetapi itu hanya legitimasi elektoral," tandasnya.

 

Pentingnya Pemahaman Demokrasi Komprehensif

Nyarwi menerangkan demokrasi di Indonesia kerap dipahami sebagai elektoral semata. Begitu pula mekanisme yang mengatur soal legitimasi politik didominasi hanya saat pemilihan langsung.

"Problemnya regulasi dan UU kita itu mengatur legitimasi politik seorang pemimpin itu dari elektoral saja," tandasnya.

Menurutnya akan susah menyikapi legitimasi politik Gibran yang didapati adanya problem moral pada legitimasi keanggotaan partai politik dan legitimasi dalam proses kandidasi. Karena ia mendapat legitimasi yang tidak komprehensif.

"Legitimasi pertama dan kedua tidak terpenuhi secara maksimal," sebutnya.

Nyarwi menekankan pemimpin harus mendapatkan legitimasi komprehensif untuk menjamin kehidupan demokrasi lebih baik.

"Seorang pemimpin mendapatkan legitimasi politik itu harus komprehensif. Masyarakat juga harus paham," tegasnya.

Sehingga, menurutnya, kalaupun seorang sudah terpilih menjadi pemimpin berdasarkan legitimasi elektoral, maka tidak ada jalan lain untuk menerimanya.

"Mau tidak mau. Dan publik, masyarakat memahami demokrasi sebatas demokrasi elektoral. Demokrasi itu terjadi seakan-akan ketika pencoblosan saja," sebutnya.

Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya pemahaman demokrasi bagi publik. Tidak hanya saat pencoblosan semata, tetapi juga demokrasi pasca-elektoral. Rakyat patut dilibatkan dalam proses berdemokrasi secara utuh.

"Makanya demokrasi pasca-pemilu tidak banyak berkembang dan sangat ditentukan oleh elite," terangnya.

Selain itu, belum mekanisme yang mumpuni untuk menjamin pelibatan rakyat dalam kehidupan berdemokrasi untuk menentukan arah bangsa.

"Keputusan penting itu kan tidak hanya diputuskan melalui legislasi di DPR saja, tapi keputusan penting itu kan harus tanya rakyat, referendum. Kita tidak mengenal kata referendum," tegasnya.

Selain itu, budaya petisi dalam demokrasi Indonesia juga tidak mendapati posisi apik. Setali tiga uang, potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pun membesar seiring minimnya pelibatan rakyat. 

"Otoritas itu di regulasi kita sangat normatif, berdasarkan kekuasaan," pungkasnya.

 

Pencawapresan Gibran Cacat Legalitas

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, pasangan Prabowo-Gibran akan merugi karena tidak memiliki legitimasi dalam pencalonan mereka. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi landasan kandidasi Putra Sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka juga cacat legalitas.

Bivitri yang juga Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini menambahkan, pencalonan Gibran mengobrak-abrik konstitusi, mencederai hukum, pun sudah terbukti melanggar etik. 

“Sudah ada masalah dalam legitimasi pencalonan gibran, karena ada masalah etik yang sudah terbukti di MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi). Ini kan konstitusi dimainkan untuk politik,” sebut Bivitri dalam podcast yang dipandu Mantan Ketua KPK Abraham Samad.

Ia menjelaskan, putusan MK atas perkara  Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 cacat secara legalitas. Pasalnya, kata Bivitri, putusan itu menabrak Undang Undang Kehakiman Pasal 17 yang menerangkan bahwa hakim yang punya benturan kepentingan terhadap perkara, dalam kasus ini yaitu Gibran  Rakabuming, hakim harus mundur. Ayat berikutnya, jika hakim tidak mundur, maka putusan batal.

Namun kenyataannya, tutur Bivitri, Hakim Anwar Usman tidak mundur, Gibran tetap melenggang dan ditetapkan KPU sebagai Cawapres. Menunjukkan karakter sebenarnya. 

“Kita lihat konteks besar, ada seseorang yang mau maju, ada hukum menghalangi. Normalnya kalau kita taat hukum, peduli pada hukum, tunggu sajalah, ini tidak. Hukumnya yang diganti dengan menggunakan kekuasaan, itu yang terjadi di negara hukum kita,” tegas Bivitri.

Lebih lanjut pasca ditetapkannya pasangan capres-cawapres oleh KPU kemarin, Bivitri mengajak pemilih untuk melihat logika moral dari para calon. 

“Pegangan kita adalah kompas moral kita. Kok bisa ada intelektual melihat suatu kesalahan tapi diam saja. Ini pertanda bahwa demokrasi kita bahaya,” tandas Vitri.

“Dan karena itu legitimasi ini sesuatu yang sangat penting, ini kan pilpres dan kedepannya akan mengganggu proses. Sebenarnya buruk buat mereka, kalau menurut saya, orang indonesia, semuanya bernalar, kita  enggak bodoh-bodoh juga, kita bisa melihat dengan kasat mata ada benturan kepentingan ada masalah, jadi sebenarnya legitimasinya berkurang,” jelas perempuan yang akrab disapa Vitri ini. (RO/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya