Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
DOSEN Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menilai persoalan legitimasi menjadi penting dalam menghasilkan pemimpin melalui ajang pemilihan umum (pemilu). Sayangnya, landasan hukum dan konstitusi tidak secara detail mengatur hal tersebut, terlebih berkenaan dengan sebelum pancalonan.
"Itu di UUD kita, di konstitusi kita tidak diatur ketat mengatur itu. Padahal itu bagian dari legitimasi juga," terangnya pada Jumat (10/11).
Menurutnya ada tiga legitimasi yang menjadi patokan pemimpin hasil pemilihan rakyat. Pertama, legitimasi keanggotaan partai. Berapa lama menjadi anggota partai politik atau sejauh mana perannya dalam internal partai untuk bisa dicalonkan. Hal itu menyangkut pengkaderan yang dilakukan partai politik agar tidak muncul kejadian sekarang masuk partai besok menjadi ketua umum, atau malah tiba-tiba dicalonkan untuk maju di kontestasi Pilpres 2024.
Baca juga: Kubu Prabowo-Gibran Sebut Baliho Masif sebagai Bentuk Semangat Relawan
Kedua, legitimasi dalam proses kandidasi.
"Kedua, mekanisme kandidasi. Seorang yang dicalonkan harus memenuhi syarat," sambungnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Dinilai Sedang Mengultuskan Diri
Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) itu juga menyoroti bacawapres Gibran Rakabuming Raka yang mendampingi Prabowo Subianto. Gibran dinilai memenuhi syarat pencalonan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), kendati putusan tersebut diwarnai pelanggaran etik berat berdasarkan putusan Majelis Kehormatan MK.
"Proses-proses ini yang kemudian bicara moralitas. Dalam konteks ini, Gibran secara hukum menurut putusan MK, legal. Tapi secara proses dianggap bermasalah," sambungnya.
Ketiga adalah legitimasi elektoral. Nyarwi menyebut legitimasi itu disandarkan pada tingkat keterpilihan. Menurutnya, kalaupun nanti Gibran memenangi pertarungan, maka hanya ada legitimasi elektoral.
"Legitimasi ketiga dari pemilu. Seberapa besar pemilih melihat krisis moralitas itu. Kalau nanti seandainya terpilih, ya bearti dia mendapatkan legitimasi politik, tetapi itu hanya legitimasi elektoral," tandasnya.
Nyarwi menerangkan demokrasi di Indonesia kerap dipahami sebagai elektoral semata. Begitu pula mekanisme yang mengatur soal legitimasi politik didominasi hanya saat pemilihan langsung.
"Problemnya regulasi dan UU kita itu mengatur legitimasi politik seorang pemimpin itu dari elektoral saja," tandasnya.
Menurutnya akan susah menyikapi legitimasi politik Gibran yang didapati adanya problem moral pada legitimasi keanggotaan partai politik dan legitimasi dalam proses kandidasi. Karena ia mendapat legitimasi yang tidak komprehensif.
"Legitimasi pertama dan kedua tidak terpenuhi secara maksimal," sebutnya.
Nyarwi menekankan pemimpin harus mendapatkan legitimasi komprehensif untuk menjamin kehidupan demokrasi lebih baik.
"Seorang pemimpin mendapatkan legitimasi politik itu harus komprehensif. Masyarakat juga harus paham," tegasnya.
Sehingga, menurutnya, kalaupun seorang sudah terpilih menjadi pemimpin berdasarkan legitimasi elektoral, maka tidak ada jalan lain untuk menerimanya.
"Mau tidak mau. Dan publik, masyarakat memahami demokrasi sebatas demokrasi elektoral. Demokrasi itu terjadi seakan-akan ketika pencoblosan saja," sebutnya.
Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya pemahaman demokrasi bagi publik. Tidak hanya saat pencoblosan semata, tetapi juga demokrasi pasca-elektoral. Rakyat patut dilibatkan dalam proses berdemokrasi secara utuh.
"Makanya demokrasi pasca-pemilu tidak banyak berkembang dan sangat ditentukan oleh elite," terangnya.
Selain itu, belum mekanisme yang mumpuni untuk menjamin pelibatan rakyat dalam kehidupan berdemokrasi untuk menentukan arah bangsa.
"Keputusan penting itu kan tidak hanya diputuskan melalui legislasi di DPR saja, tapi keputusan penting itu kan harus tanya rakyat, referendum. Kita tidak mengenal kata referendum," tegasnya.
Selain itu, budaya petisi dalam demokrasi Indonesia juga tidak mendapati posisi apik. Setali tiga uang, potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pun membesar seiring minimnya pelibatan rakyat.
"Otoritas itu di regulasi kita sangat normatif, berdasarkan kekuasaan," pungkasnya.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, pasangan Prabowo-Gibran akan merugi karena tidak memiliki legitimasi dalam pencalonan mereka. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi landasan kandidasi Putra Sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka juga cacat legalitas.
Bivitri yang juga Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini menambahkan, pencalonan Gibran mengobrak-abrik konstitusi, mencederai hukum, pun sudah terbukti melanggar etik.
“Sudah ada masalah dalam legitimasi pencalonan gibran, karena ada masalah etik yang sudah terbukti di MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi). Ini kan konstitusi dimainkan untuk politik,” sebut Bivitri dalam podcast yang dipandu Mantan Ketua KPK Abraham Samad.
Ia menjelaskan, putusan MK atas perkara Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 cacat secara legalitas. Pasalnya, kata Bivitri, putusan itu menabrak Undang Undang Kehakiman Pasal 17 yang menerangkan bahwa hakim yang punya benturan kepentingan terhadap perkara, dalam kasus ini yaitu Gibran Rakabuming, hakim harus mundur. Ayat berikutnya, jika hakim tidak mundur, maka putusan batal.
Namun kenyataannya, tutur Bivitri, Hakim Anwar Usman tidak mundur, Gibran tetap melenggang dan ditetapkan KPU sebagai Cawapres. Menunjukkan karakter sebenarnya.
“Kita lihat konteks besar, ada seseorang yang mau maju, ada hukum menghalangi. Normalnya kalau kita taat hukum, peduli pada hukum, tunggu sajalah, ini tidak. Hukumnya yang diganti dengan menggunakan kekuasaan, itu yang terjadi di negara hukum kita,” tegas Bivitri.
Lebih lanjut pasca ditetapkannya pasangan capres-cawapres oleh KPU kemarin, Bivitri mengajak pemilih untuk melihat logika moral dari para calon.
“Pegangan kita adalah kompas moral kita. Kok bisa ada intelektual melihat suatu kesalahan tapi diam saja. Ini pertanda bahwa demokrasi kita bahaya,” tandas Vitri.
“Dan karena itu legitimasi ini sesuatu yang sangat penting, ini kan pilpres dan kedepannya akan mengganggu proses. Sebenarnya buruk buat mereka, kalau menurut saya, orang indonesia, semuanya bernalar, kita enggak bodoh-bodoh juga, kita bisa melihat dengan kasat mata ada benturan kepentingan ada masalah, jadi sebenarnya legitimasinya berkurang,” jelas perempuan yang akrab disapa Vitri ini. (RO/Z-7)
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis, kemudian gagasannya tidak masuk dalam RUU atau dalam UU langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
MK menyatakan tidak menerima permohonan pengujian materiil UU Kementerian Negara yang mempersoalkan rangkap jabatan wakil menteri
Mendagri Tito Karnavian menyebut pemerintah masih mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Menurutnya, pelibatan publik dalam pembahasan undang-undang merupakan tanggung jawab DPR dan pemerintah, karena merupakan hak dari publik.
Adapun penyerapan tenaga kerja di KEK juga dinilai menunjukkan hasil menggembirakan bagi pemerintah. Sepanjang 2024, Rosan menyebut ada 47.747 orang.
PARTAI NasDem mendesak agar Keputusan Presiden (Keppres) terkait Ibu Kota Nusantara (IKN) segera diterbitkan.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan realisasi penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) sudah mendekati 85% dari total sekitar 15 juta penerima.
Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka memantau penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) di Kantor Pos Tangerang, Banten, Rabu (16/7).
Presiden Prabowo Subianto tiba di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu (16/7).
WACANA Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk berkantor di Papua dinilai sebagai kesempatan bagus.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved