Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
DOSEN Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menilai persoalan legitimasi menjadi penting dalam menghasilkan pemimpin melalui ajang pemilihan umum (pemilu). Sayangnya, landasan hukum dan konstitusi tidak secara detail mengatur hal tersebut, terlebih berkenaan dengan sebelum pancalonan.
"Itu di UUD kita, di konstitusi kita tidak diatur ketat mengatur itu. Padahal itu bagian dari legitimasi juga," terangnya pada Jumat (10/11).
Menurutnya ada tiga legitimasi yang menjadi patokan pemimpin hasil pemilihan rakyat. Pertama, legitimasi keanggotaan partai. Berapa lama menjadi anggota partai politik atau sejauh mana perannya dalam internal partai untuk bisa dicalonkan. Hal itu menyangkut pengkaderan yang dilakukan partai politik agar tidak muncul kejadian sekarang masuk partai besok menjadi ketua umum, atau malah tiba-tiba dicalonkan untuk maju di kontestasi Pilpres 2024.
Baca juga: Kubu Prabowo-Gibran Sebut Baliho Masif sebagai Bentuk Semangat Relawan
Kedua, legitimasi dalam proses kandidasi.
"Kedua, mekanisme kandidasi. Seorang yang dicalonkan harus memenuhi syarat," sambungnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Dinilai Sedang Mengultuskan Diri
Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) itu juga menyoroti bacawapres Gibran Rakabuming Raka yang mendampingi Prabowo Subianto. Gibran dinilai memenuhi syarat pencalonan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), kendati putusan tersebut diwarnai pelanggaran etik berat berdasarkan putusan Majelis Kehormatan MK.
"Proses-proses ini yang kemudian bicara moralitas. Dalam konteks ini, Gibran secara hukum menurut putusan MK, legal. Tapi secara proses dianggap bermasalah," sambungnya.
Ketiga adalah legitimasi elektoral. Nyarwi menyebut legitimasi itu disandarkan pada tingkat keterpilihan. Menurutnya, kalaupun nanti Gibran memenangi pertarungan, maka hanya ada legitimasi elektoral.
"Legitimasi ketiga dari pemilu. Seberapa besar pemilih melihat krisis moralitas itu. Kalau nanti seandainya terpilih, ya bearti dia mendapatkan legitimasi politik, tetapi itu hanya legitimasi elektoral," tandasnya.
Nyarwi menerangkan demokrasi di Indonesia kerap dipahami sebagai elektoral semata. Begitu pula mekanisme yang mengatur soal legitimasi politik didominasi hanya saat pemilihan langsung.
"Problemnya regulasi dan UU kita itu mengatur legitimasi politik seorang pemimpin itu dari elektoral saja," tandasnya.
Menurutnya akan susah menyikapi legitimasi politik Gibran yang didapati adanya problem moral pada legitimasi keanggotaan partai politik dan legitimasi dalam proses kandidasi. Karena ia mendapat legitimasi yang tidak komprehensif.
"Legitimasi pertama dan kedua tidak terpenuhi secara maksimal," sebutnya.
Nyarwi menekankan pemimpin harus mendapatkan legitimasi komprehensif untuk menjamin kehidupan demokrasi lebih baik.
"Seorang pemimpin mendapatkan legitimasi politik itu harus komprehensif. Masyarakat juga harus paham," tegasnya.
Sehingga, menurutnya, kalaupun seorang sudah terpilih menjadi pemimpin berdasarkan legitimasi elektoral, maka tidak ada jalan lain untuk menerimanya.
"Mau tidak mau. Dan publik, masyarakat memahami demokrasi sebatas demokrasi elektoral. Demokrasi itu terjadi seakan-akan ketika pencoblosan saja," sebutnya.
Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya pemahaman demokrasi bagi publik. Tidak hanya saat pencoblosan semata, tetapi juga demokrasi pasca-elektoral. Rakyat patut dilibatkan dalam proses berdemokrasi secara utuh.
"Makanya demokrasi pasca-pemilu tidak banyak berkembang dan sangat ditentukan oleh elite," terangnya.
Selain itu, belum mekanisme yang mumpuni untuk menjamin pelibatan rakyat dalam kehidupan berdemokrasi untuk menentukan arah bangsa.
"Keputusan penting itu kan tidak hanya diputuskan melalui legislasi di DPR saja, tapi keputusan penting itu kan harus tanya rakyat, referendum. Kita tidak mengenal kata referendum," tegasnya.
Selain itu, budaya petisi dalam demokrasi Indonesia juga tidak mendapati posisi apik. Setali tiga uang, potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pun membesar seiring minimnya pelibatan rakyat.
"Otoritas itu di regulasi kita sangat normatif, berdasarkan kekuasaan," pungkasnya.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, pasangan Prabowo-Gibran akan merugi karena tidak memiliki legitimasi dalam pencalonan mereka. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi landasan kandidasi Putra Sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka juga cacat legalitas.
Bivitri yang juga Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini menambahkan, pencalonan Gibran mengobrak-abrik konstitusi, mencederai hukum, pun sudah terbukti melanggar etik.
“Sudah ada masalah dalam legitimasi pencalonan gibran, karena ada masalah etik yang sudah terbukti di MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi). Ini kan konstitusi dimainkan untuk politik,” sebut Bivitri dalam podcast yang dipandu Mantan Ketua KPK Abraham Samad.
Ia menjelaskan, putusan MK atas perkara Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 cacat secara legalitas. Pasalnya, kata Bivitri, putusan itu menabrak Undang Undang Kehakiman Pasal 17 yang menerangkan bahwa hakim yang punya benturan kepentingan terhadap perkara, dalam kasus ini yaitu Gibran Rakabuming, hakim harus mundur. Ayat berikutnya, jika hakim tidak mundur, maka putusan batal.
Namun kenyataannya, tutur Bivitri, Hakim Anwar Usman tidak mundur, Gibran tetap melenggang dan ditetapkan KPU sebagai Cawapres. Menunjukkan karakter sebenarnya.
“Kita lihat konteks besar, ada seseorang yang mau maju, ada hukum menghalangi. Normalnya kalau kita taat hukum, peduli pada hukum, tunggu sajalah, ini tidak. Hukumnya yang diganti dengan menggunakan kekuasaan, itu yang terjadi di negara hukum kita,” tegas Bivitri.
Lebih lanjut pasca ditetapkannya pasangan capres-cawapres oleh KPU kemarin, Bivitri mengajak pemilih untuk melihat logika moral dari para calon.
“Pegangan kita adalah kompas moral kita. Kok bisa ada intelektual melihat suatu kesalahan tapi diam saja. Ini pertanda bahwa demokrasi kita bahaya,” tandas Vitri.
“Dan karena itu legitimasi ini sesuatu yang sangat penting, ini kan pilpres dan kedepannya akan mengganggu proses. Sebenarnya buruk buat mereka, kalau menurut saya, orang indonesia, semuanya bernalar, kita enggak bodoh-bodoh juga, kita bisa melihat dengan kasat mata ada benturan kepentingan ada masalah, jadi sebenarnya legitimasinya berkurang,” jelas perempuan yang akrab disapa Vitri ini. (RO/Z-7)
MK buka suara terkait isu pemakzulan wakil presiden (wapres) Gibran Rakabuming Raka yang santer belakangan ini.
ANGGOTA Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia menilai program Sekolah Rakyat akan berbeda dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan sekolah gratis.
KEWENANGAN pengelolaan energi dan sumber daya mineral termasuk pemberian izin tambang, yang kini berada di tangan pemerintah pusat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MK menolak lima gugatan yang diajukan sejumlah pemohon berkaitan dengan pengujian formil dan materiil UU TNI
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan atas pengujian UU Kejaksaan terkait hak imunitas bagi jaksa.
DUA orang advokat, Syamsul Jahidin dan Ernawati menggugat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi (MK)
pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka tak sederhana, perlu dukungan kuat legislatif dan adanya pelanggaran hukum yang memang terbukti.
Sebagian besar laporan yang masuk ke Lapor Mas Wapres disampaikan melalui kanal WhatsApp hingga 72,05%.
Presiden ke-7 RI Joko Widodo menanggapi soal surat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dikirim ke DPR dan MPR.
FORUM Purnawirawan Prajurit TNI mengirimkan surat kepada MPR dan DPR tentang desakan pemakzulan terhadap Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka
WAKIL Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan menunggu undangan dari Ketua MPR Ahmad Muzani untuk membahas surat desakan pemakzulan terhadap Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi penghalang bagi PDIP untuk merapat ke koalisi pemerintah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved