Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pusat Riset Politik BRIN: Ada Tendensi untuk Terapkan Dinasti Politik

Faustinus Nua
17/10/2023 21:32
Pusat Riset Politik BRIN: Ada Tendensi untuk Terapkan Dinasti Politik
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman (tengah) didampingi hakim konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Suhartoyo.(MI/Susanto. )

PARA periset dari Klaster Riset Perwakilan Politik, Pemilu dan Otonomi Daerah (PPPOD) di Pusat Riset Politik BRIN menyampaikan sikap atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan perkara terkait batas usia capres cawapres.

"Putusan MK ini semakin menunjukan adanya tendensi untuk menerapkan dinasti politik dalam kerangka demokrasi prosedural. Akibatnya, melalui putusan MK ini, integritas penyelenggaraan pemilu menjadi dipertanyakan. Sebab, pemilu yang seharusnya dilakukan secara jujur dan adil justru menjadi ajang kontestasi yang tidak sehat dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan," salah satu periset politik BRIN Prof R. Siti Zuhro dalam keterangannya, Selasa (17/10).

Menurutnya, putusan MK tersebut tidak serta merta memberikan garansi akan lahirnya politisi muda berkualitas selama tidak dibarengi dengan komitmen partai politik untuk membudayakan demokrasi internal partai. Absennya komitmen jangka panjang partai politik untuk melahirkan kader-kader muda berkualitas justru dapat melanggengkan politik familisme, yaitu perluasan keluarga sebagai lembaga, ideologi, ikatan, praktik-praktik dan hubungan sosial dalam lembaga publik (negara) guna memenuhi tuntutan (kepentingan pribadi) mereka.

Baca juga: Pengamat Sebut Sulit Buktikan Hakim MK Langgar Kode Etik

Putusan MK tersebut juga dinilai menabrak dan bertentangan dengan konstitusi, khususnya ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, 'segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya', dan ketentuan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945, 'setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan'. Sehingga putusan tersebut bersifat tidak adil dan diskriminatif bagi sebagian warga negara.

"Bila intensi MK ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk mencalonkan diri menjadi capres atau cawapres, semestinya MK tidak membatasi hanya bagi mereka yang sedang atau pernah menjabat jabatan politis melalui pemilu atau pilkada. Pembatasan ini justru memberikan 'privilege' bagi figur tertentu yang memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat jabatan politis melalui pemilu atau pilkada," imbuhnya.

Baca juga: KPU Wajib Tindaklanjuti Putusan MK

Perihal batasan usia capres atau cawapres sesungguhnya merupakan open legal policy yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang, sama halnya dengan sistem pemilu yang sudah diputuskan oleh MK dalam putusan terdahulu. Akan tetapi, MK memutuskan bahwa syarat usia capres dan cawapres bukan open legal policy sehingga MK merasa berhak memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Sebagai ketentuan dalam ruang lingkup open legal policy, semestinya aturan batasan usia capres dan cawapres dibuat oleh pembuat undang-undang (DPR bersama-sama dengan presiden) melalui proses pembuatan legislasi yang berlaku, secara seksama, penuh dengan pertimbangan dari segala aspek, terbuka, transparan, akuntabel, inklusif dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna, dan dilakukan diluar tahapan pemilu.

Secara substansi, penambahan frasa '…atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' dapat memberikan kesempatan pada kelompok muda. Namun, penambahan frasa tersebut menjadi problematik karena permohonan ini diajukan pada masa injury time menjelang pencalonan capres dan cawapres pemilu 2024.

"Terlebih lagi, putusan MK ini dikeluarkan 3 hari sebelum jadwal pendaftaran capres dan cawapres 2024. Jelas, putusan MK ini digulirkan serba terburu-buru, mengejar waktu sebelum tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden dimulai. Selain itu, hal ini mengindikasikan kepentingan politik pragmatis syahwat kekuasaan dalam keputusan yang diambil oleh MK," tambahnya.

"Di tengah trend kemunduran demokrasi Indonesia, putusan MK ini justru semakin menjauhkan upaya kolektif bangsa untuk menuju konsolidasi demokrasi," tutupnya.

Adapun pernyataan itu ditandatangani Prof R. Siti Zuhro, Prof Lili Romli, Prof Firman Noor, Sarah Nuraini Siregar, Dini Rahmiati, Nyimas Letty Latifah, Ridho Imawan Hanafi, Yusuf Maulana, Devi Darmawan dan Mouliza Donna Sweinstani. (Van/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya