Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat minimal usia capres-cawapres melibatkan Ketua MK Anwar Usman, yang juga adik ipar dari Presiden Joko Widodo. Padahal, UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim tidak boleh punya konflik kepentingan dalam memutus perkara.
Pada putusannya, MK memperbolehkan mereka yang belum berusia 40 tahun asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau jabatan yang dipilih dalam Pemilihan Umum atau Pilkada (elected officials), untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres. Putusan itu dianggap menyediakan karpet merah bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menjelaskan Pasal 17 ayat 3 UU No. 48/ 2009 menyebut “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera”.
Baca juga : Putusan MK yang Mengubah Syarat Usia Capres-Cawapres Jadi Putusan Terburuk
Lalu, Pasal 17 ayat 5 UU No. 48/ 2009: “Seorang hakim dan panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas pihak yang berperkara”.
Selanjutnya, Pasal 17 ayat 6 UU No. 48/ 2009: “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Baca juga : Putusan MK Batas Usia Capres–Cawapres Tidak Bisa Jadi Rujukan
D. Pasal 17 ayat 7 UU No. 48/ 2009: “Perkara sebagaimana dimaksud ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda”.
"Jika merujuk pada Pasal 17 ayat 3 UU No.48/ 2009 tersebut di atas, keberadaan Ketua MK Anwar Usman selaku adik ipar Presiden Jokowi sekaligus paman dari Gibran Rakabuming Raka, menguatkan dugaan adanya konflik kepentingan (conflict of interests) yang bertentangan dengan spirit independensi kekuasaan kehakiman," papar Umam, Selasa (17/10).
MK mengabulkan satu dari beberapa gugatan soal batas usia minimal capres-cawapres. Gugatan dengan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh seorang mahasiswa Almas Tsaqibbirru. Ia mengaku sebagai pengagum Gibran.
Menurut Umam, jika Almas memiliki relasi kepentingan secara langsung maupun tidak langsung dengan Gibran, hal itu jelas berpotensi bertentangan dengan Pasal 14 ayat 5 UU No.48/ 2009.
Terlebih lagi, menurut Umam dalam Rapat Putusan Hakim (RPH) di MK, komposisi sikap hakim dalam pengambilan keputusan juga beragam dan tidak bulat. Terdapat 3 hakim yang setuju, 2 hakim dissenting opinion (DO), dan 2 hakim Concurring Opinion (CO) atau memiliki argumen berbeda tapi ikut saja bersetuju dengan keputusan mayoritas majelis hakim.
"Artinya, tidak menutup kemungkinan 2 orang hakim yang bersikap Concurring Opinion (CO) berada di bawah tekanan, namun tidak berani bersikap menghadapi kekuatan besar yang menghantui netralitas dan independensi hakim," ucap Umam.
Dugaan adanya upaya memengaruhi atas putusan, sambung Umam, dikonfirmasi oleh testimoni Hakim Konstitusi Saldi Isra yang mengakui banyak hal aneh dalam pengambilan keputusan di MK. Saldi menjabarkan hal itu saat sidang pengucapan putusan, kemarin (16/10).
"Merujuk pada Pasal 17 ayat 6 dan 7 UU No. 48/ 2009, jika benar terjadi konflik kepentingan atau bahkan ada dugaan tekanan politik yang merusak independensi dan netralitas hakim, putusan MK kemarin bisa dianulir, putusannya dinyatakan tidak sah, " papar Umam.
Merujuk pada celah ketidakpastian dan lemahnya legitimasi putusan MK, Umam mengatakan para Capres baik Prabowo Subianto maupun Ganjar Pranowo, sebaiknya tidak gegabah dan berhati-hati dengan berpikir matang sebelum mengambil keputusan untuk menentukan Gibran sebagai Cawapres mereka.
"Sebab, jika langkah politik itu sudah dilakukan, namun putusan MK kemudian digugat dan dianulir, hal itu akan menjadi amunisi yang sangat efektif untuk mendegradasi dan menghancurkan kredibilitas pencapresan mereka," terang Umam yang juga Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC). (Z-4)
Sejarah ketatanegaraan kita menunjukkan terjadinya inkonsistensi terhadap pelaksanaan pemilihan.
Menurutnya, penting bagi DPR dan Pemerintah untuk bisa menjelaskan seberapa partisipatif proses pembentukan UU TNI.
Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menegaskan, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi dan melewati batas kewenangan MK.
MK dalam perkembangannya tidak lagi menjadi sekadar negative legislator dalam meneruskan suatu perkara, tetapi sudah melangkah progresif sebagai lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi.
Partisipasi pemilih tidak ditentukan oleh desain pemilu, tetapi oleh kekuatan hubungan antara pemilih dan para kontestan.
DELAPAN organisasi masyarakat sipil bersama sejumlah individu terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) resmi mengajukan permohonan judicial review atau gugatan ke Mahkamah Konstitusi
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu.
Situasi geopolitik dalam beberapa bulan terakhir berdampak signifikan pada berbagai bidang kehidupan.
YLBHI menyebut usulan revisi Undang-Undang (UU) TNI bertentangan dengan agenda reformasi dan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI yang membawa rezim Neo Orde Baru.
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari, menilai pembredelan pameran lukisan tunggal karya Yos Suprapto bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan bertentangan dengan konstitusi.
Munculnya aspirasi mengubah posisi kelembagaan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri sebagaimana di masa Orde Baru adalah gagasan keliru dan bertentangan Konstitusi RI.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved