Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
UNDANG-UNDANG Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) dinilai memuat pasal yang merugikan pekerja.
Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 56 ayat (3) yang menyatakan, 'Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja'.
"Ketika pemohon menyadari pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya sangat potensial sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja," ujar pemohon Leonardo Siahaan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/6).
Baca juga: Serikat Pekerja Perbaiki Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja
Pemohon menyebut bahwa pasal tersebut sangat rawan sekali mengingat pekerja ini merupakan pihak yang lemah, pihak yang sangat rentan sekali dan pengusaha powerfull. Sehingga ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali.
"Padahal kalau kita lihat di dalam UU Tenaga Kerja yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 saja. Tetapi kalau pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya bisa usia lansia bisa saja seseorang tersebut diperpanjang terus sampai jadi pegawai tetap,” jelasnya.
Baca juga: 15 Serikat Pekerja Minta Mahkamah Konstitusi Respons Aspirasi Pekerja
Pendapat pemohon ini berdasarkan bahwa perusahaan dapat seenaknya menetapkan jangka waktu PKWT. Terlebih lagi bahwa pemberlakuan pasal tersebut dapat memperpanjang kembali dalam jangka waktu kemauan perusahaan tanpa repot-repot mengangkat.
Dalam permohonan, pemohon menjelaskan bahwa secara umum pasal a quo mengatur tentang PKWT yang penyelesaiannya didasarkan pada dua keadaan, yaitu jangka waktu selesai atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pemohon kemudian menjelaskan norma yang mengatur tentang hal serupa pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Membandingkan dengan norma-norma yang telah ada sebelumnya, pemohon menegaskan bahwa di dalam pasal a quo belum diatur batas waktu perjanjian kerja waktu tidak tertentu sebagaimana diatur pada norma lain yang dijadikan pembanding oleh Pemohon.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali.'
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan meskipun Pemohon menekankan pandangan yang dibidik adalah kerugian potensial akan tetapi harus tetap diberikan penguatan argumentasi kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal itu. “Menurut saya, lebih baik beri argumen lain atau data lain yang faktual bahwa saudara memang mempunyai keterkaitan erat dengan pasal 56 ayat (3) itu. Atau pun mencari Pemohon yang bisa diajak kolaborasi penguatan kedudukan itu,” tegas Suhartoyo.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan MK dalam berbagai putusan sudah beberapa kali menguji persoalan seperti Pemohon. “Jadi hendaknya anda memperkuat, ada 1 putusan MK yang saya pikir sangat dekat dengan permohonan saudara tetapi saya tidak melihat di permohonan saudara putusan Nomor 27/2011. Memang putusan itu berbicara outsourcing tetapi itu ada kaitannya dengan PKWT dan PKWTT. Sehingga di situ mungkin ada titik singgung prinsip jadi bukan case yang sama tetapi ada titik singgung yang sama,” terang Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Guntur menerangkan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan diterima Kepaniteraan paling lambat pada Senin 3 Juli 2023 pukul 13.30 WIB. (Van/Z-7)
Ada pula tantangan untuk memastikan para pencipta lagu dan musisi mendapatkan royalti dari penggunaan karya cipta mereka.
PENAIKAN rerata Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang ditetapkan pemerintah sebesar 6,5% tak akan berdampak banyak pada peningkatan kesejahteraan buruh atau masyarakat
Pihaknya bakal mematuhi hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 168/PUU-XX1/2023 yang memerintahkan agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari Undang-Undang Cipta Kerja
Kenaikan upah pada 2025 diyakini akan menentukan perekonomian di tahun depan.
Terdapat beberapa hal yang dibicarakan dari dialog tersebut, di antaranya terkait tidak adanya kewajiban untuk menetapkan kenaikan upah minimum 2025 pada 21 November 2024
Aturan mengenai upah minimum pekerja belum dapat dipastikan kapan akan terbit. Itu karena formulasi penghitungan upah masih dalam pembahasan.
Menurut Perludem, putusan MK sudah tepat karena sesuai dengan konsep pemilu yang luber dan jurdil, dan disertai dengan penguatan nilai kedaulatan rakyat.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
KETUA Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menahan diri dengan menolak putusan terkait ketentuan persyaratan pendidikan capres-cawapres,
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis, kemudian gagasannya tidak masuk dalam RUU atau dalam UU langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved