Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kenaikan UMP tak Berdampak jika Kebijakan Pemerintah Beratkan Masyarakat

M Ilham Ramadhan Avisena
01/12/2024 21:14
Kenaikan UMP tak Berdampak jika Kebijakan Pemerintah Beratkan Masyarakat
Tangis haru buruh saat unjuk rasa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi Undang-Undang Cipta Kerja(MI/Usman Iskandar)

PENAIKAN rerata Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang ditetapkan pemerintah sebesar 6,5% tak akan berdampak banyak pada peningkatan kesejahteraan buruh atau masyarakat. Itu dengan asumsi berbagai kenaikan biaya hidup seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga tambahan iuran wajib bagi pekerja tetap berlaku. 

“Kenaikan UMP 6,5% ini berpotensi menjadi tidak berarti jika rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tahun depan tidak dibatalkan, demikian pula rencana berbagai pungutan wajib seperti potongan Tapera hingga rencana kenaikan berbagai tarif layanan umum seperti rencana kenaikan tarif KRL,” ujar ekonom sekaligus Direktur Next Policy Yusuf Wibisono saat dihubungi, Minggu (1/12).

Jika kebijakan yang menambah beban rakyat itu tetap diberlakukan, lanjutnya, penaikan UMP sebesar 6,5% tak akan berarti banyak. Kenaikan upah itu juga tak serta merta dapat mengungkit kesejahteraan pekerja, melainkan semata mengompensasi dari kenaikan beban biaya hidup.

Dengan kemungkinan naiknya beban biaya hidup masyarakat pula, inflasi Indonesia diekspektasikan bakal mencapai 4%. Dengan asumsi itu, kenaikan UMP secara tak langsung dialokasikan untuk menutupi kenaikan beban hidup masyarakat. 

Belum lagi formula penghitungan yang digunakan pemerintah pada penetapan UMP 2025 masih gamang. Jika formula penghitungan penaikan upah tetap mengacu pada UU Cipta Kerja, maka kebijakan upah masih belum menciptakan keadilan bagi pekerja atau buruh. 

“Kasus terburuk terjadi pada UMP 2022, yang diformulasikan berdasarkan UU Cipta Kerja, yang hanya mengalami kenaikan rata-rata 1,09%. Dibandingkan dengan inflasi tahun 2022 yang di kisaran 5,5% dan pertumbuhan ekonomi yang 5,3%, kenaikan UMP 2022 yang hanya 1,09% jelas sangat tidak memadai. Di sepanjang 2022, upah riil buruh tertekan luar biasa,” jelas Yusuf.

Kebijakan upah untuk tahun ini pun dinilai belum sepenuhnya adil. Pasalnya kenaikan rerata UMP berada di kisaran 3,6%. Kenaikan itu hanya cukup mengompensasi inflasi 2024 yang diperkirakan akan berada di kisaran 3%. Kenyataannya, para pekerja maupun buruh tetap tertekan dan gontai memnuhi kebutuhan hidupnya. 

Jika pemerintah memandang perekonomian di tahun depan masih berada dalam ketidakpastian, mestinya penetapan UMP tak hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Pun juga jangan sampai formula penghitungan upah kembali mengacu pada UU Cipta Kerja. 

Setidaknya, kata Yusuf, formula penghitungan upah 2025 paling minimal dapat mengompensasi ekspektasi inflasi tahun depan dan mencakup kenaikan produktivitas yang tercermin dari target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%. 

“Hal krusial disini adalah penentuan ‘alfa’ yang ditetapkan PP No. 51/2023 hanya di kisaran 0,1-0,3. Dengan tenaga kerja yang berlimpah, menurut saya alfa selayaknya minimal di kisaran 0,6. Menurut saya UMP 2025 seharusnya naik minimal di kisaran 7-8%,” jelas Yusuf.

“Kenaikan UMP ini krusial tidak hanya untuk menekan angka kemiskinan namun juga krusial dalam menjaga daya beli konsumen yang pada gilirannya akan menopang keberlanjutan dunia usaha,” pungkas dia. (Mir/M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya