Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
SIDANG pengujian mengenai sistem pemilihan umum (pemilu) dalam Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK).
Agenda sidang ke-16 untuk perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini yakni mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Pihak Terkait Partai Garuda dan Partai Nasdem.
Saksi ahli yang dihadirkan Partai Garuda, Abdul Chair Ramadhan mengatakan, di dalam negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari perjalanan pemilu yang dilaksanakan oleh negara tersebut.
Baca juga : Media Arus Utama Harus Bendung Polarisasi Jelang Pemilu 2024
“Prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) seyogianya diselenggarakan secara beriringan. Demikian itu menunjukkan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisahkan sebagai perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa,” terangnya ke hadapan sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi.
Dalam kaitannya dengan sistem proporsional, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah itu menyebut, tercipta hubungan emosional dan hubungan tanggung jawab antara calon anggota legislatif terpilih dengan pemilihnya.
Baca juga : Penyelenggara Pemilu Manut Hasil RDP soal Keterwakilan Perempuan
Kondisi demikian akan memperkokoh komitmen politik dan komitmen moral wakil rakyat yang lebih nyata. Komitmen wakil rakyat guna merealisasikan kedaulatan rakyat yang substantif ke dalam kekuasaannya, sangat terjamin dan tentunya lebih akomodatif.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pemilu merupakan hal yang mutlak. Hak masyarakat untuk memilih dan dipilih demikian mendasar dan asasi sifatnya.
Menurut Abdul Chair, sistem proporsional terbuka sejalan dengan kebenaran dan sekaligus keadilan. Kebenaran dan keadilan menurut Sisworo merupakan dwitunggal, satu terhadap yang lain saling memberikan legitimasi.
"Kebenaran dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan yang adil adalah suatu tindakan yang berdasar pada kebenaran. Dalam kaitan ini, penerapan sistem proporsional terbuka dimaksudkan guna menghindari kerugian dan mendahulukan kebaikan," jelasnya.
Disamping itu, lanjut Abdul Chair, proporsional terbuka juga sesuai dengan Fatwa MUI. Kewajiban untuk memilih calon yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddîq), terpercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, maka demikian itu membutuhkan sistem proporsional terbuka.
Ketiadaan sistem proporsional terbuka akan menyebabkan kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan. Tanpa adanya sistem proporsional terbuka, kewajiban sebagaimana dimaksudkan tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan kaidah fikih, “mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihî fa huwa wâjib”, maka sistem proporsional terbuka bersifat wajib.
Sementara itu, saksi ahli yang dihadirkan Wibi Andrino (Partai Nasdem) I Gusti Putu Artha mengatakan, sistem proporsional terbuka suara terbanyak ingin memposisikan partai politik secara konsititusional sesuai amanat UUD.
“Saya tidak membantah bahwa peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan Kabapaten/Kota adalah partai politik. Namun mesti juga dicatat bahwa pasal 1 UUD (pasal paling utama dan awal) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat,” tegasnya.
Menurut Putu, UU Nomor 7 Tahun 2017 seakan memberi penegasan bahwa dalam konteks pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan Kabupaten, partai politik diberi amanat menyeleksi dan menjaring calon-calon terbaik di tiap dapil lalu dengan kendaraan partai politik diantarkan ke KPU di semua tingkatan. Siapa yang dikehendaki rakyat, menurut pasal 1 UUD, diserahkan penuh kedaulatan rakyat.
Di parlemen, wakil rakyat berhimpun dalam fraksi parpol masing-masing untuk mengagregasikan kepentingan rakyat yang dijaring oleh para anggota DPR dan partai politik masing-masing di tiap dapil. Dengan penjelasan ini, stigma deparpolisasi tidak menemukan dasarnya karena sejak proses pencalonan hingga berakhir masa jabatannya seorang anggota dewan tetap terikat pada partai politik kendatipun dipilih dengan sistem proporsional terbuka.
Dia menambahkan, baik sistem proporsional terbuka dan tertutup sejatinya sama-sama konstitusional menurut UUD. Hanya saja, derajat konstitusionalitasnya yang berbeda. Dalam konteks ini, ranah pengambilan keputusan atas pilihan sistem itu menurut UUD ada di tangan DPR dan Presiden selaku pembuat UU.
Mahkamah mempertegas konsistensi implementasi subsistemnya agar selaras dengan sistem proporsional terbuka yang menjadi pilihan pembuat UU.
“Sistem proporsional terbuka dan tertutup sama-sama konsitusional namun sistem proporsional terbuka memiliki bobot yang lebih tinggi. Secara teknis penyelenggaraan, perubahan sistem pemilu yang harus diadopsi pada Pemilu 2024 saat ini potensial akan memunculkan gejolak politik di internal partai politik dan gangguan teknis verifikasi administrasi pencalonan dan pengadaan logistik oleh KPU,” terangnya.
Selain itu, sistem proporsional terbuka juga terbukti membangun tatanan proses kaderisasi politik yang mendorong lahirnya pemimpin lokal yang memiliki hubungan yang amat dekat dengan rakyat dan kemampuan melayani aspirasi rakyat, politik anggaran yang memihak rakyat, sekaligus sistem ini amat memihak politisi perempuan.
Ia pun menegaskan, kedua sistem memiliki ekses munculnya politik uang dan biaya kampanye yang mahal apabila regulasi tidak mengatur secara ketat dan penegakan hukum tak dijalankan secara tegas. (Z-5)
Menurutnya, penting bagi DPR dan Pemerintah untuk bisa menjelaskan seberapa partisipatif proses pembentukan UU TNI.
Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menegaskan, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi dan melewati batas kewenangan MK.
MK dalam perkembangannya tidak lagi menjadi sekadar negative legislator dalam meneruskan suatu perkara, tetapi sudah melangkah progresif sebagai lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi.
Partisipasi pemilih tidak ditentukan oleh desain pemilu, tetapi oleh kekuatan hubungan antara pemilih dan para kontestan.
DELAPAN organisasi masyarakat sipil bersama sejumlah individu terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) resmi mengajukan permohonan judicial review atau gugatan ke Mahkamah Konstitusi
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Delia mengungkapkan Puskapol sejak 2014 mendorong sistem proposional terbuka karena mengusung semangat pemilih bisa diberikan pilihan untuk memilih caleg secara langsung.
Yakni 70 persen kursi diisi dengan sistem proporsional terbuka, dan 30 kursi diisi oleh daftar nama yang sejak awal telah disusun oleh partai politik (party-list).
Pertimbangan Mahkamah itu tentu bukan hanya pepesan kosong belaka, melainkan ditopang fakta empiris.
Ayep pun mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut demi masa depan Indonesia dan memastikan hak-hak masyarakat dapat terpenuhi.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, putusan MK ini membuktikan bahwa sistem proporsional terbuka sudah sesuai dengan konstitusi.
KETUA Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu RI Rahmat Bagja menilai Undang-Undang (UU) Nomor 7/2017 tentang Pemilu tidak didesain untuk kepentingan kampanye pada Pemilu 2024.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved