Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PUBLIK mempertanyakan konsistensi Ketua DPR Puan Maharani tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Batalnya Puan membacakan Surat Presiden (Surpres) berisi Daftar Invetaris Masalah (DIM) RUU TPKS dalam Rapat Paripurna penutupan Masa Sidang III menimbulkan tanda tanya bagi publik lantaran sebetulnya Surpres tersebut sudah dikirimkan ke DPR 2 hari sebelum paripurna berlangsung.
Peniliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut batalnya Puan membacakan Surpres RUU TPKS yang sebetulnya telah dikirim oleh pemerintah ke DPR menunjukkan bahwa rendahnya komitmen DPR dibawah kepemimpinan Puan untuk menuntaskan RUU TPKS. Lucius menilai RUU TPKS cenderung hanya dijadikan sebagai alat politik untuk meraih simpati publik.
"Setiap kali desakan publik untuk meminta respons ceoat DPR terkait RUU TPKS, DPR selalu ingin terlihat peduli. Padahal data yang terlihat memperlihatkan sebaliknya. Kelambanan pembahasan RUU TPKS sesungguhnya disebabkan oleh komitmen rendah DPR untuk memulai pembahasan," ungkap Lucius saat dihubungi oleh Media Indonesia di Jakarta, Sabtu (19/2).
Baca juga: Pimpin G20, Indonesia Siap Jembatani Negara Berkembang dan Maju
Lucius secara tegas bahkan menyebut DPR tidak berniat untuk menuntaskan pembhasan RUU TPKS. Puan dinilai sengaja mempermainkan emosi publik sambil berharap publik terkceoh karena menganggap DPR seolah-olah berjuang mengesahkan RUU TPKS padahal pada faktanya tidak demikian. Dirinya menduga Puan sebagai Ketua DPR memiliki perhitungan politis dalam pembahasan RUU TPKS.
"Saya menduga ada sedikit ketakutan secara politis pada DPR menghadapi kelompok masyarakat yang meyakini RUU TPKS cenderung melegalkan praktek seks bebas, dan semacamnya," ungkapnya.
Lucius melanjutkan, RUU TPKS dapat membuat DPR terpojok jika RUU tersebut dianggap sebagai RUU yang melegalkan praktik seks bebas.
Ketakutan akan efek politik bisa saja dihembuskan selama atau setelah pembahasan RUJ TPKS yang membuat DPR seperti angin-anginan menyelesaikan RUU tersebut.
"Lalu kesadaran bahwa korban kekerasan seksual tak sangat banyak dalam konteks electoral membuat DPR merasa bahwa dampak politik RUU TPKS sangat kecil secara politis," ungkapnya.
Terakhir, ketakuan efek politik dan rendahnya kepedulian terhadap korban kekerasan seksual juga berpengaruh terhadap proses pembahasan RUU TPKS di parlemen.
"Pembahasan RUU TPKS oleh DPR terlihat seperti bergerak di tempat saja," ujarnya. (OL-4)
KETUA DPR RI Puan Maharani menyikapi serius lonjakan kasus covid-19 di beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Thailand, Malaysia, Singapura, dan Hong Kong.
KETUA DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa DPR melalui Komisi VIII akan mengawal penyelesaian persoalan ribuan calon jemaah haji furoda yang gagal berangkat ke Tanah Suci
KETUA DPR RI Puan Maharani mengingatkan pemerintah agar mengambil langkah terukur dalam menyikapi tren peningkatan kasus Covid-19 di kawasan Asia, termasuk di Indonesia.
Cucu Proklamator sekaligus Presiden Pertama RI Soekarno itu menegaskan sebaiknya seluruh pihak menyerahkan proses penilaian kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
KETUA DPR RI Puan Maharani menanggapi rencana Kementerian Kebudayaan untuk menjalankan proyek penulisan ulang sejarah.
Puan Maharani merespons rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional, termasuk menghapus istilah "Orde Lama".
Megawati memperingatkan agar revisi UU Pemilu tidak boleh dilakukan hanya untuk mengubah substansi demokrasi.
Pekerja migran Indonesia adalah wajah negara di luar negeri. Sehingga, ia menilai pekerja migran tersebut harus memiliki kompetensi serta jasmani dan rohani yang sehat.
Saat ini anggota DPR RI masih menjalani masa reses. Setelah reses berakhir, Rifqi memastikan pihaknya bakal melakukan rapat dengan pimpinan DPR RI.
Hal ini penting agar kinerja DPR nantinya bisa secara tepat menjawab permasalahan di masyarakat.
Hal itu diungkapkan Yasonna saat mengikuti rapat kerja perdana dengan Komisi XIII DPR RI, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11).
Revisi itu dapat dimulai dari revisi UU Pemilu. Selain itu, UU MD3 juga perlu direvisi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved