Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI dengan agenda mendengarkan keterangan para ahli pemohon. Terdapat lima perkara yang diujikan yakni Nomor 45, 56, 69, 75, dan 81/PUU-XXIII/2025.
Ahli pemohon yang merupakan Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti memaparkan terkait buruknya proses legislasi UU TNI yang jauh dari prinsip konstitusional. Menurutnya, banyak produk Undang-Undang di masa pemerintahan era Prabowo Subianto ini yang dibuat secara ugal-ugalan.
“Perkara a quo (UU TNI) memang spesial karena banyaknya pelanggaran prosedur yang ditampilkan tanpa kesungkanan ketatanegaraan dibandingkan dengan perkara-perkara lain. Bahkan sebenarnya dalam pengamatan saya, dari tiga undang-undang yang sudah diundangkan dalam masa pemerintahan baru ini, semua dilakukan secara ugal-ugalan,” katanya di ruang rapat Pleno MK pada Selasa (1/7).
Bivitri lebih lanjut menjelaskan makna dari legislasi. Ia mengatakan bahwa secara etimologis, legislasi diambil dari bahasa latin yang artinya hukum sehingga dapat dimaknai sebagai seperangkat norma yang mempunyai kekuatan memaksa mengikat semua warga dalam sebuah negara.
Atas dasar itu, legislasi harusnya menjadi proses yang harus dijalankan oleh DPR dan pemerintah secara cermat dan hati-hati dan bukan administratif dan kegiatan rutin yang dilakukan para pembentuk UU belaka. Ia menegaskan, legislasi bukan mesin pabrik yang tidak bernyawa dan berproduksi, namun harus berpijak pada pondasi moralitas.
“Jadi terang bahwa proses legislasi bukan administratif belaka, bukan teknokratik belaka, bukan soal mencontreng daftar kegiatan yang harus dilakukan untuk menghasilkan sesuatu, dan bukan pula seperti mesin pabrik dengan rutinitas tak bernyawa untuk mengeluarkan hasil,” tukasnya.
Lebih jauh, Bivitri menegaskan proses legislasi harus bersandar pada moral dan etika. Namun Indonesia dianggap sudah terlalu lama mendekati hukum dengan cara yang sangat positivistik, memisahkan hukum dari moral.
Menurutnya, hukum hanya dimaknai sebagai panduan berperilaku yang ditentukan berdasarkan kesepakatan politik dan prosesnya hanya dimaknai sebagai prosedur administratif untuk melahirkan legitimasi semu.
“Bila hukum hanya dimaknai sebagai kesepakatan elite politik formal maka pada saat kekuasaan formal diisi oleh politikus yang berwatak tidak demokratis yaitu yang tidak akuntabel pada demos-nya (rakyat), ia kan menjadi produk otokratik,” tuturnya.
Sebelumnya pada Senin (23/6) lalu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas; Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin; Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto menghadiri langsung sidang lanjutan dari uji formil dan materiil UU TNI.
Dalam kesempatan itu, Supratman mengklaim, RUU TNI diajukan berdasarkan urgensi nasional terkait upaya melindungi dan menyelamatkan WNI karena meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida (terorisme dan perang siber).
Kemudian, Presiden diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Supratman membantah dalil para Pemohon yang menyebutkan pembentukan UU TNI Perubahan tidak memenuhi asas keterbukaan sebagaimana ditentukan UU P3.
“Penyerapan aspirasi masyarakat yang kemudian dituangkan sebagai materi muatan RUU TNI Perubahan yang telah dimulai sejak tahun 2023 menunjukan bahwa proses pembentukan UU TNI Perubahan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, memenuhi asas keterbukaan, dan memenuhi prinsip meaningful participation,” kata Supratman.
Sementara itu, Komisi I DPR RI Utut Adianto mengatakan, lanjutan pembahasan RUU TNI sangat ditentukan oleh kesepakatan politik antara presiden dan DPR periode baru. Kelanjutan proses pembahasan RUU TNI Perubahan disebut berangkat dari adanya surat presiden.
Sejak disahkan oleh DPR pada 21 Maret 2025, UU TNI menjadi produk hukum yang paling banyak digugat ke MK. Tercatat 11 gugatan dilayangkan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil. (Dev/P-1)
UU TNI tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over dan lemah secara kepastian hukum.
Ia menyoroti pernyataan DPR dalam sidang sebelumnya yang menyebut pembahasan revisi UU TNI menggunakan mekanisme carry over.
DIREKTUR Imparsial Ardi Manto merespons pernyataan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas yang menyebut mahasiswa tidak memiliki kedudukan hukum dalam menggugat UU TNI,
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved