Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PAKAR Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Indonesia, Mohammad Novrizal menjelaskan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak konstitusional.
“Proses pembentukan UU TNI Perubahan termasuk dalam tahap perencanaan dan persiapannya dapat dinilai tidak konstitusional,” ujar Novrizal dalam keterangannya pada Kamis (3/7).
Novrizal menilai, proses pembuatan UU TNI bertentangan dengan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Ia menjelaskan pelaksanaan program pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) harus didasarkan pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahunan.
“Sementara dalam proses pengajuannya UU TNI Perubahan hanya dicantumkan dalam Prolegnas Jangka Menengah, tidak dalam Prolegnas Prioritas Tahunan dan Daftar Kumulatif Terbuka dari kedua prolegnas tersebut,” tukasnya.
Menurut Novrizal, penetapan pembahasan RUU TNI dapat diproses hanya muncul ketika DPR menggelar Rapat Paripurna DPR Ke-13 Masa Persidangan II Tahun 2025 pada 18 Februari 2025 yang sepakat melakukan perubahan Prolegnas Prioritas Tahunan 2025.
“Namun sebenarnya berdasarkan Risalah Rapat Paripurna tersebut, agenda resmi rapatnya tidak mencantumkan agenda tentang pembahasan perubahan prolegnas yang akan memasukkan RUU TNI Perubahan ke dalam RUU Prioritas,” jelasnya.
Novrizal mengatakan tidak terdapat penyebutan apapun mengenai pembahasan perubahan prolegnas. Pada halaman 36 Risalah Rapat tersebut, terdapat catatan DPR telah membahas pengalihan RUU TNI Perubahan dari Prolegnas Jangka Menengah ke dalam daftar Prioritas Tahunan.
“Pengalihan suatu RUU ke dalam Prolegnas Prioritas dengan cara demikian tentu tidak dapat dianggap sah karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” katanya.
Menurut Novrizal, proses perubahan agenda acara rapat seharusnya tunduk pada mekanisme yang diatur dalam Tata Tertib DPR, sehingga surat presiden tidak dapat dijadikan dasar yang sah untuk melakukan perubahan agenda rapat paripurna secara mendadak, tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.
“Setiap perubahan terhadap agenda rapat yang telah ditetapkan wajib melewati proses formal dalam Badan Musyawarah dan hasilnya harus tercermin secara eksplisit dalam agenda resmi rapat yang tercantum dalam Risalah Sidang,” ujarnya.
Lebih jauh, Novrizal menyebut dalam Risalah Rapat Paripurna yang menetapkan dimasukkannya RUU TNI Perubahan untuk dijadikan UU Prioritas Tahun 2025, tidak ditemukan bukti mekanisme perubahan agenda tersebut telah dilakukan sesuai prosedur atau usulan tertulis telah diajukan dan disetujui Badan Musyawarah.
“Dengan demikian, perubahan atas Prolegnas Prioritas Tahunan yang dilakukan dalam Sidang Paripurna Ke-13 itu dinilai tidak sah menurut Peraturan DPR tentang Tata Tertib,” tegasnya.
Dengan demikian, kata dia, pembahasan terkait perubahan Prolegnas Prioritas Tahunan di luar agenda rapat yang sudah ditentukan, dinilai tidak sah.
“Selain itu, adanya suatu ‘keadaan memaksa’ untuk segera melakukan perubahan UU TNI juga tidak ditemukan dalam bagian konsiderans ‘Menimbang’ dan ‘Penjelasan Umum’ dari UU TNI Perubahan yang sudah berlaku,” katanya.
Sebagai konsekuensi uraian di atas, jika DPR ingin mengubah Prolegnas Prioritas Tahunan, lanjut Novrizal, maka DPR seharusnya mengubah surat keputusan yang menetapkan tentang prolegnas periode terkait, khususnya pada bagian lampiran yang memuat Daftar RUU yang akan dibahas.
Lebih jauh, Novrizal menegaskan pembahasan dalam rapat paripurna DPR tidak boleh melampaui agenda rapat yang sudah ditetapkan sebelumnya, termasuk untuk mengubah atau menambahkan agenda rapat.
“Agenda rapat paripurna DPR tidak bersifat fleksibel, melainkan harus diatur secara pasti berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga seharusnya dipatuhi oleh pimpinan dan peserta rapat,” pungkasnya. (Dev/P-3)
UU TNI tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over dan lemah secara kepastian hukum.
Ia menyoroti pernyataan DPR dalam sidang sebelumnya yang menyebut pembahasan revisi UU TNI menggunakan mekanisme carry over.
Legislasi harusnya menjadi proses yang harus dijalankan oleh DPR dan pemerintah secara cermat dan hati-hati dan bukan administratif dan kegiatan rutin yang dilakukan para pembentuk UU belaka.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved