Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Alasan HAM untuk Longgarkan Remisi Koruptor Dinilai Manipulatif

Dhika kusuma winata
02/11/2021 18:05
Alasan HAM untuk Longgarkan Remisi Koruptor Dinilai Manipulatif
Grafis vonis ringan koruptor(MI/RAMDANI)

MANTAN Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menilai sejumlah dalil dalam putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 menggunakan konsep secara keliru dan cenderung manipulatif. Dalam putusannya MA menyebut pertimbangan restorative justice, kelebihan kapasitas lapas, hingga hak asasi manusia (HAM).

"Mengatakan ini (syarat ketat remisi) melanggar hak asasi manusia adalah sama dengan mengatakan keadilan restorative justice. Ini manipulatif, konsep yang keliru," kata Denny dalam diskusi daring, Selasa (2/11).

Ia mempersoalkan hak remisi narapidana yang seolah-olah disamakan dengan HAM. Menurutnya, konsep HAM diterapkan secara keliru dalam putusan MA. UU Pemasyarakatan yang mengatur soal remisi dalam Pasal 14 (1), imbuhnya, jelas menyebutnya sebagai hak narapidana bukan hak universal setiap orang.

"Hak napi kok disebut hak asasi manusia. Pasal 14 itu bicara napi berhak bukan bicara setiap orang berhak, bukan setiap manusia berhak. Itu hak narapidana, bukan hak asasi manusia. Kan tidak semua manusia, maaf, narapidana," ujarnya.

Baca juga: KPK: Kepala Daerah Tak Boleh Persulit Perizinan

Ia mengungkit sejak 2013 pengujian terhadap PP 99/2012 sudah pernah terjadi dan semuanya ditolak. Baru kali ini pengujian PP tersebut dikabulkan. Menurutnya, pembatalan PP remisi itu tak terlepas dari putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait uji materi UU Pemasyarakatan yang diajukan OC Kaligis belum lama ini.

Meski MK menolak permohonan tersebut, ujar Denny, ada sejumlah pertimbangan yang seolah-olah membukakan jalan bagi lahirnya putusan MA.

Pasalnya, pertimbangan MA dalam pembatalan PP itu sejalan dengan pertimbangan MK. Pertimbangan itu terkait alasan restorative justice, kelebihan beban kapasitas lapas, diskriminasi.

"Jadi MK membukakan pintu, memberikan pertimbangan. MA mengeksekusinya dengan membatalkannya," ungkapnya.

Alasan terkait kelebihan penghuni lapas juga dinilainya tak rasional. Pasalnya jumlah koruptor jauh lebih kecil. Mengutip data Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Denny menyampaikan saat ini total narapidana sekitar 270 ribu orang dan dari jumlah itu narapidana koruptor 4.431 orang.

"Ini hanya 0,0164% (koruptor). Yang banyak itu karena narkotika 138 ribu orang. Ini bukan karena PP 99/2012, ini karena pemakai yang seharusnya tidak dimasukkan ke penjara. Yang seharusnya dimasukkan penjara itu bandar, yang diperketat syarat remisinya bandar," ujarnya.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya