Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Denny Indrayana Dalilkan Politisasi Bansos Pilkada Kalsel di MK

Indriyani Astuti
26/1/2021 11:40
Denny Indrayana Dalilkan Politisasi Bansos Pilkada Kalsel di MK
Ilustrasi sidang di Mahkamah Konstitusi(MI/Adam Dwi)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) mulai menyidangkan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020, Selasa (26/1). Persidangan dibagi dalam tiga panel majelis hakim dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dan mahkamah mendengarkan pokok permohonan para pemohon. Para pemohon umumnya mendalilkan adanya kecurangan pada pilkada 2020.

Pasangan calon Gubenur Kalimantan Selatan nomor urut 2 Denny Indrayana dan Difriadi mendalilkan adanya politisasi bantuan sosial oleh Gubernur Petahana Sahbirin Noor-Muhidin. Kuasa hukum pemohon, Harimuddin, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan pencalonan petahana Gubernur Kalimantan Selatan karena adanya politisasi program dan kegiatan bantuan sosial bantuan pandemi covid-19, pengadaan tandon air cuci tangan untuk kampanye berupa pemasangan citra dan foto diri Gubernur Kalimantan Selatan yang sama dengan foto pada alat peraga kampanye.

Menurut pemohon, hal itu melanggar Pasal 71 Undang-Undang No. 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

"Politisasi bansos bantuan covid-19 pada masa 6 bulan sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon, yang tersebar di 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, termuat foto dan citra diri petahana yang sama seperti foto alat peraga kampanye pada stiker bungkus beras dan bakul sembako. Pengemasan dan pendistribusian menggunakan tenaga pegawai kontrak, mobil dinas, satpol Pamong Praja," kata Harimuddin di depan majelis panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Aswanto dengan anggota Daniel Yusmic P. Foekh dan Suhartoyo di ruang panel 2 Gedung MK, Jakarta.

Denny Indrayana, ujar kuasa hukum, sudah melaporkan dugaan pelanggaran tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Selatan. Tetapi hasilnya dihentikan dan kajiannya tidak diberikan pada pemohon.

"Pada hasil kajian analisa ditemukan unsur telah terpenuhi dan pada kesimpulan dan rekomendasi tidak memenuhi," ucap Harimuddin.

Baca juga:  Sidang Sengketa Hasil Pilkada Dibagi Tiga Panel

Menurut pemohon, pemungutan suara ulang (PSU) bukan jawaban. Kuasa hukum lain dari pemohon, Razid Barokah, menuturkan petahana unggul 0,4% suara dari pemohon. Ia mendalilkan adanya dua kecamatan yakni Binuang dan Hatungun di Kabupaten Tapin dengan perbedaan perolehan suara yang sangat signifikan.

Di Binuang, petahana memperoleh 17.079 dan pemohon memperoleh 1.539 suara. Kemudian, di Hatungun petahanan memperoleh 4.699 dan pemohon 623 suara.

"Terjadi kecurangan ancaman, intimidasi dan saksi di Kecamatan Binuang dan Hatungun, sehingga PSU tidak menjadi jawaban atas kecurangan. Hasilnya sama saja atau lebih parah. Kami mohon suara di dua kecamatan tersebut dinihilkan dan sudah cukup membuat perubahan suara," ujar Razid.

Selain itu, pada persidangan panel 1 yang diketuai oleh Ketua MK Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan anggota Wahiduddin Adams serta Enny Nurbaningsih, pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat nomor urut 1 Mulyadi dan Ali Mukhni mendalilkan pemilihan Gubernur Sumatra Barat tidak berjalan demokratis khususnya dalam proses penegak hukum.

Pada perkara sengketa PHPKada Nomor 129/PHP.GUB-XIX/2021 itu, kuasa hukum pemohon Veri Junaidi menjelaskan pemilihan tidak menunjukan prinsip kesetaraan dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) dianggap memaksakan penetapan tersangka kepada pemohon (Mulyadi). Meskipun pada tahap penyidikan dinyatakan tidak cukup alat bukti.

Pemohon menilai penetapan tersangka pada 4 Desember 2020, beberapa hari sebelum pencoblosan, merupakan upaya sistematis dengan tujuan menggembosi dukungan pemilih pada pemohon. Sekaligus mengalihkan pilihan pada paslon lain yaitu pasangan calon nomor urut 04, Mahyeldi-Audy Joinaldy, peraih suara terbanyak pada pilkada Sumatra Barat.

"Penetapan dilakukan secara singkat menjelang pemungutan suara 4 Desember dan pada 11 Desember terbit penghentian penyedikan karena tidak cukup alat bukti. Proses penerapan tersangka terkesan terburu-buru dan dipaksakan. Ada upaya masif publikasi penetapan pemohon sebagai tersangka baik media lokal maupun nasional," papar Veri.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya