Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Revisi UU MK Memang belum Tuntas

Tri Subarkah
21/12/2020 02:00
Revisi UU MK Memang belum Tuntas
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari .(MI/SUSANTO)

REVISI UU MK terbaru dianggap diselesaikan dengan terburu-buru dan mengabaika n aturan perundangan serta beberapa pasal berpotensi bertentangan dengan konstitusi. Terkait dengan hal itu, fraksi yang ada di DPR tidak langsung satu suara. Sempat terjadi dinamika sebelum akhirnya semua fraksi menyetujui revisi UU MK, yakni UU Nomor 7 Tahun 2020. Lalu bagaimana DPR menyikapi RUU MK tersebut, berikut wawancara wartawan Media Indonesia dengan Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari . Berikut petikan wawancaranya.


APA dasar revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang pada September lalu disahkan menjadi Undang-Undang No 7 Tahun 2020?

Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi adalah RUU yang di prolegnas itu masuk kategori kumulatif terbuka. Artinya RUU yang diajukan sebagai akibat dari adanya putusan MK. Karena ini kumulatif terbuka, muatannya adalah hal-hal yang memang pernah diputus Mahkamah Konstitusi.

 

Apa saja putusan MK yang Anda maksud?

Ada lima putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi rujukan revisi UU MK. Ada putusan MK No 48/2011, No 49/2011, No 34/2012, No 7/2013, dan No 1 dan No 2/2014. Dari lima putusan tersebut, 80% dari revisi Undang-Undang MK itu didasarkan pada putusan 49/2011.

Putusan tersebut yang mengajukan, atau pemohonnya, ialah Zainal Abidin Mochtar, Prof Saldi Isra yang waktu itu belum menjadi hakim MK, Feri Amsari. Siapa lawyer-nya? Ada saya sendiri, ada Donald Fariz, ada Febri Diansyah, dan satu lagi, Veri Junaidi Ketua Kode Inisiatif.

Oleh karena itu, isi dari UU MK tersebut ialah akibat dari kita-kita yang mengajukan uji materi terhadap UU MK, termasuk juga syarat usia, tata cara pemilihan.

 

Putusan MK yang Anda sebutkan tidak mengatur secara detail soal masa jabatan dan usia hakim konstitusi. Seperti apa penjelasannya?

Kita harus baca putusan MK secara utuh. Dengan putusan No 49/2011, itu dikatakan bahwa mengenai syarat usia hakim konstitusi itu adalah open legal policy. Di dalam putusan tersebut juga kita uji sebenarnya, tapi ditolak MK dengan mengatakan open legal policy.

Kemudian dikaitkan dengan putusan No 7/2013, yang memutuskan inkonstitusional bersyarat. Bahwa seharusnya syarat sebagai hakim konstitusi pertama kalinya waktu mendaftar ialah 47-65 tahun, itu juga ditegaskan ialah open legal policy. Dari open legal policy itu, kemudian DPR mempertimbangkan bahwa kita menginginkan adanya Mahkamah Konstitusi yang bermartabat, dengan diisi negarawan. Oleh karena itu, kita ingin menjadikan hakim konstitusi sebagai perhentian terakhir seseorang untuk mengabdikan dirinya kepada bangsa.

 

UU MK yang baru juga memperpanjang masa jabatan hakim MK menjadi 15 tahun. Apakah hal tersebut adil bagi hakim berusia muda yang tergolong baru dipilih, seperti Saldi Isra?

Kita hitung waktu antara 55 dan 70 sebagai masa pensiun. Jadi, bukan 15 tahun masa jabatan, tapi pensiun di usia 70 tahun. Karena hitungan dari rentang waktu inilah, muncul di aturan peralihan yang juga di putusan MK No 49/2011 sudah dinyatakan batal, dengan dalam aturan peralihannya itu kita hitung, 70 tahun masa pensiun, atau sudah 15 tahun menjabat. Supaya tidak lewat dari situ.

 

Bagaimana tanggapan Anda yang mengaitkan revisi UU MK tersebut sebagai barter politik?

Dengan dihilangkannya periodisasi jabatan hakim konstitusi, justru DPR melepaskan hak untuk bisa memilih tiap lima tahun. Tudingan seperti itu agak berat, seolah ini ada barter kepentingan. Perlu saya sampaikan, revisi UU MK ini sudah muncul sejak periode yang lalu 2018, tapi memang tidak tuntas. (Tri/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya