Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
BERSYUKURLAH di zaman Orde Baru Presiden Soeharto gencar membangun infrastruktur. Hasil bonanza minyak pada 1974 menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk kita mempercepat pembangunan. Banyak negara yang pada masa itu menikmati hasil dari melonjaknya harga minyak dunia. Kita sebut, misalnya, Nigeria. Namun, hasil minyak tidak membuat Nigeria memacu pembangunan karena hanya dinikmati segelintir elite. Dalam ekonomi ada adagium trade follow the road, bahkan lebih jauh lagi industry follow the trade.
Oleh karena itulah, ketika Amerika Serikat mengalami depresi ekonomi, yang dilakukan Presiden Franklin Delano Roosevelt membangun infrastruktur. Dengan jalan yang terbentang mulus, orang akan bisa memasarkan produknya. Perekonomian otomatis tumbuh di daerah yang infrastrukturnya tersedia dengan baik. Ketika perdagangan berkembang pesat, orang pasti terpacu untuk membangun industri. Tidak heran 20 tahun setelah itu, Indonesia dijuluki negara industri baru.
Dengan jalan Trans-Sumatra yang terbentang dari Aceh sampai Lampung, Trans-Sulawesi dari selatan ke utara, perpindahan barang menjadi lebih lancar. Bahkan pada 1978 kita membangun jalan Tol Jakarta-Bogor-Ciawi, ketika Malaysia, Filipina, dan bahkan Tiongkok belum satu kilometer pun memiliki jalan bebas hambatan. Sayang, setelah era Orde Baru berakhir, kita lupa membangun infrastruktur tambahan. Bahkan infrastruktur yang ada seperti irigasi dibiarkan tidak terawat. Akibatnya, kita rasakan perekonomian tidak bergerak dengan cepat lagi.
Tepatlah jika Presiden Joko Widodo sekarang ingin bergegas membangun infrastruktur. Fasilitas yang tersedia bukan hanya tidak memadai, tetapi juga kualitasnya sangat buruk. Tidak usah heran daya saing Indonesia untuk menarik investasi sempat terpuruk dan sekarang berada pada urutan ke-91. Hanya, Presiden Jokowi tidak seberuntung Presiden Soeharto dulu. Pemerintahan sekarang tidak sedang menikmati 'durian runtuh'. Era bonanza minyak sudah berlalu, demikian pula bonanza komoditas. Hasil melimpah dari batu bara dan minyak kelapa sawit sepuluh tahun lalu boleh dikatakan tidak berbekas sama sekali.
Seperti ayam dan telur, memang kita tidak bisa saling menunggu. Pembangunan infrastruktur harus dilakukan meski anggaran tidak melimpah karena tanpa itu tidak mungkin kita berharap investasi masuk. Padahal, ada tiga persoalan besar yang bisa menjadi bom waktu, yaitu pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan. Kita harus memutar otak mencari jalan keluar dari semua persoalan ini. Bagaimana kita bisa membangun infrastruktur di tengah keterbatasan dana pembangunan. Apabila tidak mau anggaran negara sampai terganggu, kita tidak boleh terlalu ambisius.
Infrastruktur yang dibangun disesuaikan anggaran yang kita punyai. Tahun ini anggaran yang disiapkan sebesar Rp387 triliun. Sisa dari kebutuhan yang lain kita serahkan kepada swasta. Kemauan untuk mengundang swasta masuk, seringkali yang tidak jelas. Di satu sisi kita berharap swasta ikut terlibat, tetapi di sisi lain kita fobia kepada pengusaha. Sikap setengah hati itulah yang akhirnya menjerat kita sendiri. Padahal, negeri seperti Tiongkok yang menerapkan sistem sosialis, seharusnya lebih takut kepada swasta.
Anehnya, Tiongkok justru lebih terbuka terhadap modal swasta. Mereka menerapkan sistem ekonomi dan politik yang berseberangan karena pandangannya 'tidak peduli kucing itu warnanya hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus'. Kita lihat dalam 20 tahun terakhir ini Tiongkok berubah menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia karena peran dari swasta. Sebagai pemegang kekuasaan, pemerintah hanya membuat regulasi yang mengamankan kepentingan nasional, tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada swasta.
Tiongkok 20 tahun lalu bukan negara yang melimpah anggarannya. Namun, sekarang mereka memiliki infrastruktur yang lebih maju daripada Indonesia. Kuncinya ternyata terletak pada kecerdasan untuk memanfaatkan swasta sebagai pendorong pembangunan. Namun, hasilnya dirasakan oleh seluruh rakyat. Ke sanalah kita seharusnya mau belajar.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved