Headline
BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia
BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia
BANGSA ini mengalami krisis keteladanan akibat defisit etika. Mencari sosok yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam bertutur dan bertindak seperti menemukan jarum di tumpukan jerami.
Hari-hari ini kita membutuhkan sosok yang menjadi rujukan. Pemimpin yang perkataannya dituruti, imbauannya dipatuhi. Ketiadaan sosok anutan itulah yang menyebabkan masyarakat cenderung bertindak sendiri sampai menerabas batas kepatutan.
Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa menjadi salah satu pemantik krisis multidimensi yang pernah dan terus dialami bangsa ini.
Penyebab lainnya ialah terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika.
Analisis komprehensif atas penyebab krisis multidimensi itu menjadi latar belakang penerbitan etika kehidupan berbangsa dalam Tap VI/MPR/2021. Cakupannya ialah etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan, etika keilmuan, dan etika lingkungan.
Ketetapan MPR terkait dengan etika kehidupan berbangsa indah sebatas teks tanpa konsistensi penerapannya.
Pemimpin rabun konsistensi. Etika sosial dan budaya mengamanatkan perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.
Budaya keteladanan tidak ditemukan di sekitar kita karena lebih banyak dijumpai sosok bunglon. Prinsip, tutur, dan laku mereka bisa ibarat cuaca yang berubah-ubah sesuai dengan selera. Itu namanya sosok bunglon tanpa teladan.
Perintah etika pemerintahan sangat tegas. Penyelenggara negara mesti memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedikit sekali pejabat yang siap mundur, sudah duduk lupa berdiri. Ada pejabat yang namanya disebutkan terima suap di sidang pengadilan, tetapi tetap kukuh memegang jabatannya.
Wibawa lembaga dipertaruhkan. Lembaga-lembaga negara, eksekutif, yudikatif, dan legislatif tidak lagi menjadi pusat tata nilai dan keutamaan. Keputusan-keputusan yang diambil tidak lagi berpihak kepada kepentingan publik. Ada jurang menganga antara keputusan dan rasa keadilan masyarakat.
Publik resah menyaksikan pameran tak patut dari wakil rakyat. Mereka joget-joget pada saat acara resmi sampai mengarang-ngarang mata anggaran. Publik terperangah setelah mengetahui wakil rakyat mendapatkan Rp50 juta per bulan sebagai tunjangan perumahan. Tunjangan mereka meroket pada saat pendapatan rakyat terimpit. Ketika rakyat protes, mereka reaktif sampai mengeluarkan kata-kata tanpa diayak.
Di jajaran eksekutif, dari pusat sampai daerah, tidak sedikit yang berurusan dengan hukum karena terlibat korupsi. Tutur dan laku pejabat tidak lagi selaras, bahkan ada bupati yang menantang warganya melakukan demonstrasi lebih besar lagi.
Setali tiga uang dengan jajaran yudikatif. Telah terjadi dekadensi moral. Hakim dan jaksa memutarbalikkan fakta di persidangan, menjungkirbalikkan kebenaran. Orang benar disalahkan, orang salah dibenarkan. Para penegak hukum sudah kehilangan rasa malu untuk menjual kebenaran demi uang.
Kita tidak boleh kehilangan harapan. Syaratnya ialah para penyelenggara negara mewujudkan etika kehidupan berbangsa dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Syarat itu sejalan dengan seruan PP Muhammadiyah pada 29 Agustus 2025. “Agar para elite politik, para pejabat negara, anggota legislatif, dan para pengambil kebijakan lebih sensitif terhadap aspirasi masyarakat dengan perilaku yang santun, kesederhanaan, dan kepedulian yang tinggi kepada masyarakat.”
Sensitivitas terhadap aspirasi masyarakat mestinya tecermin pada tutur kata dan tindakan sehingga pejabat menjadi suri teladan. Kiranya keteladanan itu cukup ditemukan dari mereka yang masih memegang kekuasaan, tidak perlu mencarinya sampai ke taman makam pahlawan.
Rasa keadilan masyarakat yang terusik dikumandangkan hari-hari ini. Pemicunya ialah matinya empati dari pusat-pusat kekuasaan. Pemerintah hendaknya cerdas, bijaksana, dan memberikan harapan dalam mengelola dan merespons kritik masyarakat. Respons atas kritik hendaknya tampak dalam perbuatan, bukan lagi kata-kata manis seperti janji kampanye.
Terus terang, problem terbesar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara selama ini ialah kontroversi antara kata dan perbuatan. Antara yang tertulis dan yang dilaksanakan. Pangkal soalnya ialah pejabat dan politikus rabun konsistensi untuk melaksanakan kata-kata yang diucapkan.
Hari-hari ini sangat dibutuhkan pengendalian diri. Semua pihak hendaknya menahan diri dan menghentikan semua tindakan yang dapat merobek-robek tenunan kebangsaan. Mencintai Indonesia tidak lagi dalam bentuk pernyataan, tetapi tindakan nyata.
Kita menagih komitmen para pemimpin bahwa dalam demokrasi, rakyat harus memiliki ruang yang luas untuk berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat, dan menyampaikan kritik.
Menampung dan mengolah kritik yang disampaikan rakyat butuh kepiawaian. Kata WS Rendra, "Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Akan tetapi, kata-kata yang dikumandangkan dari atas mimbar politik itu menggema sesaat lalu hilang tanpa jejak. Nasihat nenekku di kampung, kata tanpa perbuatan adalah mati."
PADA Kamis (29/8) malam, langit Pejompongan, Jakarta, tiba-tiba gelap.
ADA fakta menarik jika kita tarik benang merah dari dua laku kontroversial yang belakangan menjadi perbincangan panas di ruang-ruang publik.
TAK cuma agak, negeri ini kiranya benar-benar laen. Ada banyak kelainan di sini, termasuk yang terkini, yakni ihwal bagi-bagi penghargaan kepada ratusan tokoh oleh Presiden Prabowo Subianto.
AKHIR Juli lalu, dua kali saya menulis fenomena rojali dan rohana di rubrik Podium ini. Tulisan pertama, di edisi 26 Juli 2025, saya beri judul Rojali dan Rohana.
IBARAT penggalan lirik 'Kau yang mulai, kau yang mengakhiri' yang sangat populer dalam lagu Kegagalan Cinta karya Rhoma Irama (2005)
CERDAS atau dungu seseorang bisa dilihat dari kesalahan yang dibuatnya. Orang cerdas membuat kesalahan baru, sedangkan orang dungu melakukan kesalahan itu-itu saja,
MUNGKIN Anda menganggap saya berlebihan menyandingkan dua nama itu dalam judul: Noel dan Raya. Tidak apa-apa.
SEBETULNYA, siapa sih yang lebih membutuhkan rumah, rakyat atau wakil rakyat di parlemen?
UTANG sepertinya masih akan menjadi salah satu tulang punggung anggaran negara tahun depan.
ADA persoalan serius, sangat serius, yang melilit sebagian kepala daerah. Persoalan yang dimaksud ialah topeng arogansi kekuasaan dipakai untuk menutupi buruknya akal sehat.
KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.
ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.
BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved