Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SEBERAPA dahsyat tingkat korupsi di negeri ini? Saya tidak perlu menjawabnya. Saya cukup meminjam paparan seorang analis bernama Leigh McKiernon dari StratEx Indonesia Headhunter yang secara sarkastis menulis korupsi di Indonesia sebagai 'jenjang karier'. Ia memberi judul tulisan pada platform Linkedin: Korupsi sebagai Jalur Karier: Cara Sukses di Indonesia tanpa Benar-benar Berusaha.
Begini salah satu nukilan tulisannya: Anda ingin sukses di Indonesia? Bekerja keras? Membangun sesuatu yang bermakna? Salah. Itu untuk orang bodoh. Dalam ekosistem ekonomi ini, tenaga kerja yang jujur sama berharganya dengan mesin faksimile pada 2025.
Ketika kaum idealis di luar sana 'bekerja keras' dan 'berusaha keras' untuk mendapatkan gaji yang adil, lanjutnya, para pelaku korupsi sebenarnya merekayasa skema akumulasi kekayaan yang begitu rumit hingga membuat skema Ponzi terlihat seperti amatir.
"Selamat datang di industri korupsi yang tangguh dan sangat bermanfaat. Berbeda dengan portofolio investasi yang goyah atau usaha bisnis yang rumit secara etika, korupsi menawarkan jaminan pengembalian, stabilitas industri, dan pengawasan minimal," paparnya sinis.
Ia menyebut tidak ada resesi dalam korupsi. Yang ada hanya ekspansi. Tidak ada batasan karier, hanya parasut emas. Lupakan gelar MBA, gelar teknik, atau fakultas hukum. "Mengapa membuang waktu bertahun-tahun untuk belajar ketika satu amplop yang ditempatkan dengan baik dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada kerja keras selama satu dekade?" tanyanya.
Ia melihat ini semua bukan sekadar kumpulan aktor jahat secara acak. Ini adalah sistem yang dirancang dengan elegan yang menghukum kejujuran, menghargai ketidakjujuran strategis, dan memastikan mereka yang memainkan permainan dengan benar tidak perlu bekerja seharian pun dalam hidup mereka.
Begitulah korupsi di negeri ini yang sudah sangat akut. Ia merepetisi sinisme, sarkasme, bahkan protes keras berkepanjangan tanpa ada garansi mata rantainya selesai.
Dalam lanskap ekonomi yang penuh ketidakpastian, ketika sektor usaha bisa runtuh akibat resesi atau kebijakan global yang berubah, ada satu industri yang tampaknya kebal terhadap guncangan. 'Industri' itu ialah korupsi. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar sinis, tetapi kenyataannya korupsi telah menjadi 'jalur karier' yang lebih menjanjikan jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang menuntut kerja keras dan kompetensi.
Sebagian besar sektor industri di Indonesia mengalami pasang surut, tergantung pada kondisi pasar. Namun, korupsi justru menjadi satu-satunya bidang yang selalu bertumbuh tanpa henti.
Maka itu, sarkasme McKiernon terkonfirmasi. Diam-diam saya sepakat saat ada yang mengatakan bahwa sektor minyak dan gas mendorong Indonesia. Namun, mari kita jujur, korupsi ialah tulang punggung ekonomi yang sebenarnya.
Tidak seperti minyak, korupsi tidak pernah kering, dan tidak seperti gas, korupsi tidak memerlukan ekstraksi yang rumit. Korupsi mengalir secara alami, dari dana publik ke kantong pribadi, tanpa proses perizinan.
Pernyataan itu mencerminkan bagaimana dana publik sering kali dialihkan ke rekening-rekening pribadi melalui berbagai modus, dari penggelembungan anggaran proyek infrastruktur hingga pengadaan fiktif.
Jadi, menurut pandangan McKiernon, jalur menuju kesuksesan melalui korupsi jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan membangun bisnis atau meniti karier secara konvensional. Memang, tulisan McKiernon ini boleh jadi tidak terlalu akademis. Namun, dalam hati saya, mungkin juga Anda, tak bisa berkelit untuk tidak mengiyakan fakta-fakta yang dibeberkan McKiernon walau dengan sinis dan sarkastis.
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved