Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
MUNGKIN Anda pernah mendengar frasa 'sudah, tapi belum' yang beberapa waktu lalu lumayan viral di media sosial. Kalimat pendek yang sebetulnya merupakan potongan dari jawaban mantan Presiden Joko Widodo saat ditanya wartawan mengenai kesiapan proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara pada Juli 2024 itu kemudian kerap dimaknai sebagai ungkapan ketidakjelasan.
Abu-abu, antara ya dan tidak. Tidak tegas apakah beneran sudah atau sebetulnya belum. Sama juga kalau sekarang Pak Jokowi ditanya lagi, apakah sudah legawa dengan posisinya saat ini sebagai mantan presiden yang tidak lagi memegang kekuasaan negara, barangkali jawaban samar-samar itu bakal muncul lagi. "Sudah, tapi belum."
Namun, tulisan ini tidak ingin membicarakan Jokowi, IKN, ataupun asal usul munculnya frasa 'sudah, tapi belum' tersebut. Frasa itu dicuplik, termasuk untuk judul tulisan ini, karena selain lucu dan sedikit absurd, tampaknya juga pas kalau dikaitkan dengan konteks isu lain yang juga sedang hangat dibicarakan, yaitu soal kondisi terkini pemberantasan korupsi di Tanah Air.
'Sudah, tapi belum' kiranya cocok untuk menggambarkan situasi 'peperangan' melawan korupsi di Indonesia, terutama setelah Transparency International (TI) merilis corruption perception index atau indeks persepsi korupsi (IPK) 2024, belum lama ini. Menurut survei tersebut, IPK Indonesia 2024 menempati urutan ke-99 dengan skor 37. Skor itu meningkat tiga poin dari IPK 2023. Peringkat juga naik 16 tingkat dari urutan ke-115 pada 2023.
Skor naik, peringkat pun cukup melejit. Artinya, angka menunjukkan risiko korupsi di sektor publik dan politik di Indonesia menurun. Itu juga bisa diartikan bahwa upaya pemberantasan rasuah di negeri ini sudah mulai membaik setelah selama tiga tahun sebelumnya terus terpuruk.
Namun, apakah itu cukup melegakan dan memuaskan? Jelas belum. Itulah mengapa 'sudah, tapi belum' menjadi sangat pas untuk menggambarkan kondisinya. Betul poin IPK-nya sudah naik, tapi itu belum seperti yang diharapkan karena kenaikannya cuma tiga poin. Terlebih skor IPK 37 itu juga masih di bawah rata-rata IPK global di angka 43.
Peringkat IPK sudah mulai naik, oke, tapi nyatanya di level ASEAN saja kita belum bisa bicara banyak. Indonesia bahkan masih kalah dari Timor Leste yang berada di urutan ke-73 dengan skor 44. Apalagi kalau dibandingkan dengan peringkat Singapura, kejauhan, ibaratnya kita baru mulai menaiki lembah curam, mereka sudah di puncak gunung. Mendekati saja susah, apalagi menyamai.
Fakta di lapangan juga mengonfirmasi bahwa IPK itu sekadar patokan angka di atas kertas yang tak selalu terejawantahkan dalam praktik nyata. Buktinya, sepanjang tahun lalu perilaku korup masih saja menjangkiti lembaga-lembaga publik. Praktik korupsi dan semua turunannya seperti suap, gratifikasi, dan pemerasan seolah tak pernah setop dilakukan.
Begitu pun, penegakan hukum atas kasus-kasus dugaan korupsi masih kerap terganjal oleh kecilnya nyali, profesionalitas, dan terutama integritas para penegak hukumnya. KPK yang selama ini dianggap sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi masih saja berkubang dengan persoalan internal dan lenyapnya independensi sebagai dampak revisi Undang-Undang KPK di era Presiden Jokowi.
Karena itu, naik tipisnya skor IPK Indonesia pada 2024 sejatinya bukan kabar gembira-gembira amat. Ketua KPK Setyo Budiyanto boleh saja merasa tambah percaya diri dengan hasil survei TI teranyar itu, tapi mestinya dia paham bahwa kenaikan skor IPK yang tidak signifikan itu sesungguhnya hanyalah gambaran dari masih bobroknya penegakan hukum korupsi di Indonesia.
Memang, sudah separah itu kondisinya? Silakan saja lihat faktanya. Bagaimana tidak dibilang bobrok kalau terobosan kebijakan, program maupun strategi antikorupsi yang luar biasa nyaris tidak ada sampai saat ini? Bagaimana mau dikatakan baik-baik saja jika lembaga dan aparat penegak hukum justru kerap ditunggangi selera dan kepentingan penguasa?
Bahkan sampai ruang pengadilan pun kebobrokan itu sering tersaji. Vonis pengadilan cenderung seperti basa-basi belaka. Dari dulu hingga sekarang hampir tak pernah berubah, penjatuhan sanksi terhadap koruptor pun terus-terusan lemah. Vonis ringan, bahkan superringan masih bertebaran.
Kalau merujuk pada GONE theory yang dikembangkan ilmuwan Jack Bologne, keinginan untuk korupsi, selain diawali keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), dan kebutuhan (need), diperkuat pengungkapan (expose) atau keadaan hukum yang tidak jelas dan hukuman yang terlalu ringan bagi pelaku korupsi. Sah sudah, penegakan hukum yang lemah, apalagi bobrok, itulah yang membuat korupsi di negeri ini tak gampang mati dan malah semakin kuat.
Jadi, kalau ada pertanyaan, bagaimana pemberantasan korupsi di Indonesia hari ini? Jawab saja sudah, tapi belum. Di atas kertas sudah naik nilai IPK-nya, tapi di lapangan sama sekali belum beranjak maju, masih jalan di tempat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved