Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
"KOMUNIKASI itu gampang," begitu kata beberapa teman. "Enggak usah dibuat rumit. Yang penting intinya punya niat baik, komunikasi akan mudah diterima," lanjut salah satu di antara mereka.
Namun, benarkah 'maksud baik' saja cukup? Apakah sudah bisa digaransi bila maksud baik sudah dicanangkan, komunikasi tinggal mengikuti? Pasti bisa mengalir sukses? Faktanya tidak. Kata teman yang berbeda pandangan, "Komunikasi adalah koentji, bro."
Teman yang menganggap bahwa komunikasi ialah kunci itu lalu mencontohkan kasus kisruh distribusi elpiji 3 kilogram. Kurang baik dan mulia apa maksud memindahkan distribusi dari eceran ke pangkalan agar subsidi lebih tepat sasaran dan harga tidak dimainkan? Jelas, amat sangat mulia.
Akan tetapi, mengapa tone yang muncul dari aksi pemindahan distribusi gas melon bukan maksud mulia itu? Kok, yang ramai justru isu kelangkaan gas melon, susahnya berburu gas melon, hingga fakta antrean panjang lebih dari 1 jam?
Itu semua bukti bahwa ada yang menganggap enteng komunikasi. Ada yang meremehkan perencanaan, termasuk bagaimana komunikasi mestinya dirancang. Saya lalu teringat penggalan sajak WS Rendra, 'Maksud baik itu punya siapa?'. 'Maksud baik' yang dikomunikasikan secara tidak baik, hasilnya tentu tidak baik.
Salah satu celah paling menganga dari pihak-pihak yang meremehkan komunikasi ialah karena mereka terbiasa memonopoli kebenaran. Relasi yang dibangun pun lebih kerap relasi kuasa. Satu pihak mendominasi publik. Pemerintah memandang rakyat sebagai objek.
Padahal, rakyat bukan benda mati. Rakyat itu makhluk hidup. Mereka juga subjek komunikasi, bukan objek. Publik berada dalam posisi setara dalam komunikasi. Jadi, tidak boleh ada dominasi antara satu dan lainnya.
Apa yang diteorikan Juergen Habermas tentang komunikasi intersubjektif benar belaka. Dalam teori tindakan komunikatif itu, Habermas menjelaskan pentingnya ruang publik. Komunikasi itu harusnya menjadi sarana untuk mencapai konsensus demokratis.
Saya membayangkan bagaimana pemerintah dan negara menerapkan komunikasi sebagai konsensus demokrasi ini. Namun, setelah melihat bagaimana 'komunikasi gas melon' dijalankan, saya skeptis itu bisa terjadi segera. Kecuali, negara 'bertobat' dan sadar bahwa model komunikasi hegemonik dan dominatif tidak lagi dilakukan.
Waktu awal Jokowi menjadi presiden, orang ramai berekspektasi tinggi bakal lahirnya banyak ruang publik dan komunikasi intersubjektif. Wajar karena 'Jokowi adalah kita', berasal dari publik kebanyakan. Karena itu, dia 'pasti' akan 'propublik' dalam berkomunikasi.
Namun, yang terjadi, ekspektasi yang sejatinya tidak tinggi itu dirasakan amat tinggi sehingga tidak tercapai. Yang terjadi justru ruang publik makin sempit. Komunikasi didominasi relasi kuasa. Bahkan, tidak ada komunikasi. Yang muncul sosialisasi dan diseminasi. Revisi UU KPK dan lahirnya UU Cipta Kerja ialah fakta bagaimana aturan untuk orang ramai dibuat di ruang senyap.
Mestinya, itu cukup sudah untuk diakhiri. Setiap 'maksud baik' mesti dijalankan dengan baik, melalui konsensus demokratis, lewat pintu-pintu komunikasi intersubjektif. Jangan ulang lagi 'komunikasi gas melon' yang dipandang remeh, tapi ledakannya amat dahsyat.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.
HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved