Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
SEPULUH tahun yang lalu, slogan 'Jokowi adalah Kita' mampu menyihir banyak kalangan di Tanah Air. Hasilnya, Jokowi pun terpilih sebagai Presiden Ketujuh RI. Slogan itu maknanya, kira-kira, Jokowi tak ubahnya rakyat Indonesia kebanyakan: yang tidak rikuh makan di warung tenda, yang tidak menyemprot tangan dengan antiseptik setelah salaman, yang outfit-nya seperti kebanyakan rakyat jelata.
Hingga naik ke tampuk kekuasaan, Jokowi tak beringsut. Ia tak hendak mengubah 'performanya' seperti priayi atau ningrat. Ia masih rajin blusukan, bisa tiba-tiba turun dari mobil untuk menyalami rakyat di pinggir jalan, bahkan melayani kepungan untuk berswafoto. Karena itu, ia makin didukung dan dipercaya untuk menjadi presiden pada periode berikutnya.
Hingga suatu ketika, tahun berganti. Hidup memang dinamis, tidak statis. Ada yang bilang, hidup itu seperti cokro manggilingan, mirip roda berputar, kadang di atas, suatu saat di bawah. Ketika sudah di atas hampir satu dekade, orang mulai melihat Jokowi berubah. Ia dinilai mulai terlalu kuat menggenggam kekuasaan. Malah, ada yang menyebutnya: membangun kartel kekuasaan. Segala pujian yang disematkan pun, oleh banyak kalangan, mulai ditarik. Saya sedih, saat banyak orang mulai berkata 'Jokowi bukan kita'.
Orang ramai mulai menganulir simpati. Sebagian mereka bahkan menyampaikan sumpah serapah. Kesedihan saya berpangkal pada kebiasaan di negeri ini yang amat cepat menarik batas antara cinta dan benci. Antara memuji dan memaki seperti setipis kulit bawang.
Saya, kok, jadi ingat sejarah bagaimana Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, dan Presiden Abdurrahman Wahid 'diperlakukan' pada akhir jabatan mereka. Semuanya pernah diangkat setinggi bintang, lalu diempaskan sedalam-dalamnya. Semua seolah ingin menganulir pernah 'mencintai' mereka. Semua seperti hendak berseru seperti pelesetan judul lagu grup band Naif: Benci (Pernah) Mencinta.
Tidak semua, memang, mengubah haluan dari cinta menjadi benci. Di pembukaan Kongres III Partai NasDem, Minggu (25/8), di Jakarta, dua sosok sahabat lama yang akhir-akhir ini 'bersimpang pilihan jalan' justru menunjukkan bagaimana relasi persahabatan itu tidak melulu benci dan cinta. Ada rasa hormat di kamus persahabatan walau tidak selamanya jalan beriringan.
Itulah yang saya saksikan saat Jokowi dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh berpidato pada Minggu malam itu. Keduanya mengungkapkan kejujuran, ketulusan, tidak mau memakai polesan. Keduanya tidak mau dikungkung dalam urusan cinta dan benci. Surya bebas mengkritik, Jokowi juga berkata apa adanya.
Dalam pidatonya, Surya mengaku belajar banyak dari kepemimpinan Presiden Jokowi selama 10 tahun terakhir. Menurut dia, Jokowi menunjukkan hubungan yang setara, satu kesepahaman antara pemerintah dan Partai NasDem selama 10 tahun terakhir. Pada masa-masa itu, setiap orang bisa bebas bergerak dan berbicara, mengeluarkan pendapat sepakat dan kadang-kadang tidak sepakat.
Tak mengherankan ada masanya terkadang Surya merasa harus melewati fase tersenyum, di sisi lain melewati fase terhenyak. Ada banyak kesamaan maupun perbedaan pendapat yang mewarnai langkahnya selama 10 tahun terakhir ini.
"Inilah yang menyebabkan satu proses perjalanan hampir 10 tahun ini, kadang-kadang bisa tersenyum lebar, kadang-kadang kita harus termangu-mangu, kadang-kadang kita harus bisa terhenyak duduk sedikit, memikirkan apa sebenarnya yang kurang dengan NasDem ini?" kata Surya.
Bahkan, bagi Surya, ia meyakini, kendati terjadi perbedaan jalan antara dirinya dan Jokowi, ia memandang bahwa Jokowi pasti punya niat baik. Namun, hidup tak cukup hanya bermodal niat baik. Niat baik butuh strategi yang baik dan pas pula.
Jokowi pun tak menutup-nutupi perbedaan sikap dirinya dengan Surya. Saat Pilpres 2024, kata Jokowi, Surya memilih jalan perubahan, sedangkan yang lain memilih keberlanjutan. Padahal, Partai NasDem ialah partai yang pertama kali mendukungnya maju sebagai presiden pada 2014. Dukungan kepadanya pun berlanjut pada Pilpres 2019.
"Kami bisa sangat dekat walaupun juga sering berbeda pendapat. Kami bisa saling menemukan kecocokan walau juga banyak di tengah-tengah itu tidak ada kecocokan. Kami bisa saling mengerti walau kadang-kadang setelah mengerti juga bingung sendiri-sendiri," tutur dia.
Karena itu pula, Jokowi melihat sahabatnya itu tetaplah seorang sahabat yang menjunjung tinggi respek. Bukan hanya saat datang ramai-ramai di awal kekuasaan, melainkan yang lebih penting saat yang lain pergi atau meninggalkannya ramai-ramai. "Saya yakin, Bang Surya bukan tipe seperti itu," kata Jokowi.
Begitulah, saat pujian sudah bersalin rupa menjadi cibiran, cacian, bahkan sumpah serapah, masih tersisa kritik dengan rasa respek. Sikap kritis ialah lumrah. Sekeras apa pun itu, dalam alam demokrasi, juga lumrah. Termasuk bila ada yang mengkritik bahwa 'Jokowi bukan lagi kita' itu juga lumrah. Kita tinggal menunggu bagaimana kita menyisakan ruang respek.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.
HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.
ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved