Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
SEPULUH tahun yang lalu, slogan 'Jokowi adalah Kita' mampu menyihir banyak kalangan di Tanah Air. Hasilnya, Jokowi pun terpilih sebagai Presiden Ketujuh RI. Slogan itu maknanya, kira-kira, Jokowi tak ubahnya rakyat Indonesia kebanyakan: yang tidak rikuh makan di warung tenda, yang tidak menyemprot tangan dengan antiseptik setelah salaman, yang outfit-nya seperti kebanyakan rakyat jelata.
Hingga naik ke tampuk kekuasaan, Jokowi tak beringsut. Ia tak hendak mengubah 'performanya' seperti priayi atau ningrat. Ia masih rajin blusukan, bisa tiba-tiba turun dari mobil untuk menyalami rakyat di pinggir jalan, bahkan melayani kepungan untuk berswafoto. Karena itu, ia makin didukung dan dipercaya untuk menjadi presiden pada periode berikutnya.
Hingga suatu ketika, tahun berganti. Hidup memang dinamis, tidak statis. Ada yang bilang, hidup itu seperti cokro manggilingan, mirip roda berputar, kadang di atas, suatu saat di bawah. Ketika sudah di atas hampir satu dekade, orang mulai melihat Jokowi berubah. Ia dinilai mulai terlalu kuat menggenggam kekuasaan. Malah, ada yang menyebutnya: membangun kartel kekuasaan. Segala pujian yang disematkan pun, oleh banyak kalangan, mulai ditarik. Saya sedih, saat banyak orang mulai berkata 'Jokowi bukan kita'.
Orang ramai mulai menganulir simpati. Sebagian mereka bahkan menyampaikan sumpah serapah. Kesedihan saya berpangkal pada kebiasaan di negeri ini yang amat cepat menarik batas antara cinta dan benci. Antara memuji dan memaki seperti setipis kulit bawang.
Saya, kok, jadi ingat sejarah bagaimana Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, dan Presiden Abdurrahman Wahid 'diperlakukan' pada akhir jabatan mereka. Semuanya pernah diangkat setinggi bintang, lalu diempaskan sedalam-dalamnya. Semua seolah ingin menganulir pernah 'mencintai' mereka. Semua seperti hendak berseru seperti pelesetan judul lagu grup band Naif: Benci (Pernah) Mencinta.
Tidak semua, memang, mengubah haluan dari cinta menjadi benci. Di pembukaan Kongres III Partai NasDem, Minggu (25/8), di Jakarta, dua sosok sahabat lama yang akhir-akhir ini 'bersimpang pilihan jalan' justru menunjukkan bagaimana relasi persahabatan itu tidak melulu benci dan cinta. Ada rasa hormat di kamus persahabatan walau tidak selamanya jalan beriringan.
Itulah yang saya saksikan saat Jokowi dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh berpidato pada Minggu malam itu. Keduanya mengungkapkan kejujuran, ketulusan, tidak mau memakai polesan. Keduanya tidak mau dikungkung dalam urusan cinta dan benci. Surya bebas mengkritik, Jokowi juga berkata apa adanya.
Dalam pidatonya, Surya mengaku belajar banyak dari kepemimpinan Presiden Jokowi selama 10 tahun terakhir. Menurut dia, Jokowi menunjukkan hubungan yang setara, satu kesepahaman antara pemerintah dan Partai NasDem selama 10 tahun terakhir. Pada masa-masa itu, setiap orang bisa bebas bergerak dan berbicara, mengeluarkan pendapat sepakat dan kadang-kadang tidak sepakat.
Tak mengherankan ada masanya terkadang Surya merasa harus melewati fase tersenyum, di sisi lain melewati fase terhenyak. Ada banyak kesamaan maupun perbedaan pendapat yang mewarnai langkahnya selama 10 tahun terakhir ini.
"Inilah yang menyebabkan satu proses perjalanan hampir 10 tahun ini, kadang-kadang bisa tersenyum lebar, kadang-kadang kita harus termangu-mangu, kadang-kadang kita harus bisa terhenyak duduk sedikit, memikirkan apa sebenarnya yang kurang dengan NasDem ini?" kata Surya.
Bahkan, bagi Surya, ia meyakini, kendati terjadi perbedaan jalan antara dirinya dan Jokowi, ia memandang bahwa Jokowi pasti punya niat baik. Namun, hidup tak cukup hanya bermodal niat baik. Niat baik butuh strategi yang baik dan pas pula.
Jokowi pun tak menutup-nutupi perbedaan sikap dirinya dengan Surya. Saat Pilpres 2024, kata Jokowi, Surya memilih jalan perubahan, sedangkan yang lain memilih keberlanjutan. Padahal, Partai NasDem ialah partai yang pertama kali mendukungnya maju sebagai presiden pada 2014. Dukungan kepadanya pun berlanjut pada Pilpres 2019.
"Kami bisa sangat dekat walaupun juga sering berbeda pendapat. Kami bisa saling menemukan kecocokan walau juga banyak di tengah-tengah itu tidak ada kecocokan. Kami bisa saling mengerti walau kadang-kadang setelah mengerti juga bingung sendiri-sendiri," tutur dia.
Karena itu pula, Jokowi melihat sahabatnya itu tetaplah seorang sahabat yang menjunjung tinggi respek. Bukan hanya saat datang ramai-ramai di awal kekuasaan, melainkan yang lebih penting saat yang lain pergi atau meninggalkannya ramai-ramai. "Saya yakin, Bang Surya bukan tipe seperti itu," kata Jokowi.
Begitulah, saat pujian sudah bersalin rupa menjadi cibiran, cacian, bahkan sumpah serapah, masih tersisa kritik dengan rasa respek. Sikap kritis ialah lumrah. Sekeras apa pun itu, dalam alam demokrasi, juga lumrah. Termasuk bila ada yang mengkritik bahwa 'Jokowi bukan lagi kita' itu juga lumrah. Kita tinggal menunggu bagaimana kita menyisakan ruang respek.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved