Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
DALAM hukum ada adagium geen straf zonder schuld, tiada hukum tanpa kesalahan. Adagium itu, asas itu, kini tengah diuji, bahkan dipertaruhkan, dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon.
Tiada hukum tanpa kesalahan berarti seseorang tidak mungkin dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan kata lain, hanya orang yang memang bersalah yang bisa dihukum. Yang tidak bersalah, tentu tidak. Nah, dalam perkara pembunuhan Vina dan Eky, siapa yang salah, siapa yang tidak salah, kini menjadi permasalahan.
Kasus Vina dan Eky terjadi pada 27 Agustus 2016. Kedua sejoli itu menjadi korban kebrutalan geng motor di Jalan Perjuangan, depan SMP 11 Kali Tanjung, Cirebon, Jawa Barat. Keduanya dibunuh. Tragisnya lagi, sebelum dibunuh, Vina dirudapaksa. Kiranya tak ada manusia yang sebiadab para pelaku.
Kasus itu bukan kasus biasa. Maka, sudah sewajarnya polisi dan penegak hukum lain menindak para durjana. Delapan orang kemudian dinyatakan bersalah dan menghuni jeruji penjara. Selain itu, Pegi Setiawan alias Perong, Andi, dan Dani masuk daftar pencarian orang (DPO). Ketiganya dicari, diburu, hingga akhirnya Pegi ditangkap pada 21 Mei lalu.
Di situ pula, kasus pembunuhan Vina dan Eky kembali menjadi atensi. Silang pendapat dan adu debat mengemuka. Kepingan misteri yang semestinya terurai dengan ditangkapnya Pegi justru jadi misteri baru.
Beberapa pihak meyakini, Pegi bukanlah pelaku apalagi otak pembunuhan sadis delapan tahun silam itu. Ada pertanyaan, mencuat keraguan, bertebaran dugaan kejanggalan dengan dibekuknya buruh bangunan itu. Umpamanya, kenapa polisi baru dapat menangkap Pegi setelah delapan tahun buron, padahal yang bersangkutan orang biasa?
Konon, saat Lebaran, Pegi pulang ke rumah keluarganya. Jika itu benar, semestinya kepolisian sudah sejak dulu membekuknya. Kenapa pula penangkapan terhadap Pegi baru dapat dilakukan setelah 13 hari film Vina: Sebelum 7 Hari yang mengisahkan peristiwa tragis tersebut tayang?
Aroma kejanggalan makin dirasa setelah Polda Jabar menyatakan bahwa dengan ditangkapnya Pegi maka tidak ada lagi pelaku lain yang buron. Bagaimana dengan Andi dan Dani? Ternyata keduanya tak lagi menjadi DPO dengan dalih tidak lagi cukup bukti. Kata polisi, nama keduanya hanya asal disebut.
Ada pula kesaksian dari teman sesama kuli bangunan bahwa Pegi berada di Bandung saat peristiwa memilukan terjadi di Cirebon, di tempat yang berjarak 100 km lebih. Saksi itu bernama Suharsono alias Bondol. Dia bilang, pada 27 Agustus 2016 sekitar pukul 20.00 WIB, Pegi dan dua teman lainnya yakni Robi dan Ibnu mengantarnya ke jalan raya di Bandung mencari angkot untuk pulang ke Cirebon.
Masih ada teman yang bilang Pegi tidak berada di Cirebon saat kejadian. Mereka siap bersaksi, mereka siap menyatakan bahwa Pegi bukanlah pelaku pembunuhan Vina dan Eky.
Di setiap kasus, tersangka menyangkal sangkaan adalah hal biasa. Di setiap perkara, keluarga membela tersangka juga biasa. Demikian halnya keluarga Pegi. Akan tetapi, kesaksian orang lain bahwa tersangka bukanlah pelaku tindak pidana tentu lebih dari biasa. Itulah kesaksian teman-teman Pegi. Kesaksian yang amat berisiko jika mengada-ada.
Sejumlah pertanyaan, beragam kejanggalan, juga banyaknya dugaan bahwa polisi keliru meringkus pelaku haruslah dijawab dengan bijak dan tepat. Adanya syak wasangka bahwa sebenarnya ada pelaku lain tapi justru dibiarkan mesti ditepis dengan penindakan yang transparan. Itulah instruksi Presiden Jokowi, itulah keinginan publik.
Polisi belum tentu salah, tetapi juga belum pasti benar. Begitu pula Pegi, belum tentu benar, juga belum pasti salah. Yang sangat tidak benar ialah kalau dia menjadi korban salah tangkap. Salah satu terpidana dalam perkara itu, Saka Tatal, pun mengaku menjadi korban salah tangkap. Dia yang sudah bebas dari hukuman delapan tahun berujar, saat peristiwa terjadi, dirinya sedang di rumah bersama kakak dan pamannya.
Dari banyaknya kasus pidana, salah tangkap memang tidak banyak, tetapi selalu ada. Salah satu yang tak terlupakan sebagai catatan kelam dalam sejarah kepolisian di Tanah Air ialah kasus Sengkon dan Karta. Dua petani dari Bekasi, Jabar, itu ditangkap atas tuduhan penggarongan dan pembunuhan suami istri, Sulaiman-Siti Haya, pada 1974. Semakin keras membantah, semakin parah keduanya disudutkan hingga akhirnya pengadilan memvonis hukuman 12 tahun dan 7 tahun penjara.
Adalah Gunel yang kemudian mengungkap kebenaran. Narapidana LP Cipinang itu tetiba mengaku sebagai pelaku perampokan terhadap Sulaiman-Siti. Kendati begitu, tak mudah bagi Sengkon dan Karta untuk bisa bebas. Ketika akhirnya keluar dari penjara, keduanya sudah sakit-sakitan, tambah miskin, hingga meninggal dalam kondisi memprihatinkan.
Dalam hukum ada pepatah lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah. Namun, idealnya, yang bersalah harus dihukum dan yang tak bersalah wajib dibebaskan.
Muruah hukum sedang dipertaruhkan dalam babak-babak akhir kasus pembunuhan Vina-Eky. Pun dengan profesionalisme kepolisian. Jangan biarkan nasib hukum sepahit politik lantaran yang salah dibenarkan, yang benar dipersalahkan.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved