Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
TEMAN saya belakangan ini uring-uringan. Dia geregetan, marah, geram, di tengah kian memanasnya hiruk pikuk perpolitikan. Dari dulu dia tidak terlalu suka dan sekarang bilang semakin tidak suka dengan politik. Apa pasal?
Teman saya itu rupanya penganut paham bahwa politik itu kotor. Dia punya prinsip politik itu kejam karena begitu berkuasanya naluri dan nafsu untuk berebut kekuasaan.
Teman saya itu pun semakin yakin, haqul yaqin, politik tak punya sopan santun, niradab, tunaetika. Sejumlah fakta di pilpres kali ini dia sodorkan sebagai pembenaran. Yang paling dia soal ialah proses Gibran menjadi cawapres. Proses instan, akal-akalan, yang kental dengan campur tangan ordal, orang dalam. Proses yang mewakili model penggunaan segala cara.
Yang dia gugat ialah tabiat Gibran. Di atas panggung debat cawapres, Gibran memang mendapat sorotan. Dia beberapa kali berlaku yang di mata banyak orang tak pantas, tak patut, tak sopan, tak beretika, kemlinthi, kementhus, songong. Sebagai cawapres muda, dia tidak mencerminkan anak muda yang semestinya.
Yang juga diusik teman saya ialah perilaku banyak politikus yang bertekuk lutut di kaki syahwat pengabaian etika. Dia tak habis pikir dengan politikus yang begitu mudah, teramat gampang, berubah sikap dan pikiran. Dulu berseberangan, mengkritik habis-habisan Jokowi, sekarang menjelma sebagai pemuja luar biasa bapaknya Gibran.
Mereka begitu sigap berganti posisi karena partai mereka berubah dukungan. Mereka seperti ucapan tokoh Britania Raya Winston Churchill, "Beberapa orang mengubah partai mereka demi prinsip mereka; yang lain, mengubah prinsip mereka demi partai mereka."
Teman saya itu secara khusus menyoal duo F, Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Utamanya Fahri. Dia mempertanyakan kenapa Fahri yang dulu idealis dan amat kritis kini gigih membela, menjadi die hard-nya, penguasa. Seolah tidak peduli meski yang dibela itu gemar menabrak aturan untuk terus menggenggam kekuasaan.
Teman saya tidak sendirian. Banyak, termasuk saya, yang punya persepsi serupa. Bahkan ada yang menyandingkan, memirip-miripkan, Fahri dengan Ali Mochtar Ngabalin. Fahri next Ngabalin. Ngabalin ialah eks oposan garis keras Jokowi yang kemudian menjadi pembela paling gigih ayah Gibran itu. Malah, tak sedikit yang mengecapnya sebagai penjilat.
Teman saya juga mempermasalahkan dua politikus muda perempuan dari partai yang katanya milik anak muda. Dia kagum betul dengan keduanya, tapi itu dulu. Sekarang, dia cupet nalar, pendek akal, untuk memahami kenapa keduanya tiba-tiba seperti minus nalar, defisit akal. Keduanya yang tadinya anti kepada salah satu capres karena alasan idealisme kini malah menjadi pendukung garis keras capres itu.
Teman saya geleng-geleng kepala, tepok jidat berulang-ulang, ketika menyaksikan penampilan keduanya dalam talk show di televisi. Saya juga. Keduanya membela mati-matian paslon yang sebelumnya mereka cerca setengah mati. Tempo hari bilang tidak mungkin bersama paslon itu, eh, belakangan berdiri di belakangnya. Menjadi tim suksesnya.
Teramat telanjang inkonsistensi, plin-plan, yang dipertontonkan. Jejak digital yang disodorkan narasumber lain tidak terbantahkan betapa keduanya lain dulu beda sekarang. Karena kekuasaan atau uang yang akhirnya bicara? Entahlah. Yang pasti wajah keduanya sudah bersulih.
Usia muda, sekali lagi, bukan jaminan keteguhan pada idealisme dan penghormatan pada etika. Pas kiranya narasi komedian Inggris Maureen Murphy bahwa, "Alasan mengapa ada begitu sedikit politikus wanita adalah karena terlalu merepotkan untuk merias wajah di dua wajah."
Sudah sedemikian burukkah dunia politik kita? Teman saya bilang, manuver-manuver kotor yang tanpa malu-malu lagi dipamerkan sebagian politikus ialah penegasan yang muskil disangkal. Situasi saat ini rasanya selaras dengan petikan lirik lagu Sumbang karya Iwan Fals.
'...Setan-setan politik yang datang mencekik
Walau di masa paceklik tetap mencekik
Apakah selamanya politik itu kejam?
Apakah selamanya dia datang 'tuk menghantam?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan?
Menjilat, menghasut, menindas
Memperkosa hak-hak sewajarnya...'.
Saya memahami kegelisahan, kemarahan, kegeraman, teman saya. Saya pun terkadang bertanya-tanya sebegitu parahkah watak dan tabiat politikus kita? Atau bahkan, jangan-jangan betul kata Prof Ikrar Nusa Bhakti bahwa politik di negeri ini sudah masuk kategori disgusting (menjijikkan), bukan lagi politics is interesting (menarik), bukan pula politics is amusing (menghibur).
Mencemaskan, memang. Namun, kiranya tidak semua politikus jelek. Tidak semua calon pemimpin buruk. Masih ada yang baik. Tinggal bagaimana kita cerdas mendukung, memilih yang baik-baik, agar politik dan kehidupan bangsa ini membaik. Tak lagi menjijikkan.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved