Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
ADA peribahasa terkenal dari Inggris, If you pay peanuts, you get monkeys. Arti tekstualnya, 'jika dibayar pakai kacang, yang didapat cuma monyet'. Bila diterjemahkan secara bebas, pepatah itu bisa bermakna: ada harga ada kualitas, atau ana rega ana rupa, kata orang Jawa. Pokoknya, kualitas didapat sesuai harga yang dibayarkan.
Seorang teman menyematkan pepatah itu saat melihat besaran anggaran belanja untuk Kementerian Pertanian di APBN 2024, yang jumlahnya 'cuma' Rp14,6 triliun. Angka itu bahkan tidak masuk ke sepuluh besar anggaran kementerian dan lembaga di negeri ini. Padahal, Kementan harus menghadapi tantangan pangan yang makin rumit.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tetap menjadi primadona, dengan mendapat alokasi anggaran Rp146,9 triliun, Kementerian Pertahanan lebih dari Rp135,4 triliun, dan Polri yang dapat Rp113 triliun. Anggaran belanja Kementan bahkan cuma separuh dari belanja Komisi Pemilihan Umum yang lebih dari Rp28 triliun.
Wajar belaka bila anggaran Kementan sebesar itu disetarakan dengan 'kacang pemancing monyet'. Padahal, kualitas yang diharapkan sangat muluk. Kementan diharapkan menjadi ujung tombak ketahanan pangan kita yang makin rapuh. Apa dengan anggaran segitu bisa? Apa cucuk?
Belum lagi, anggaran untuk ketahanan pangan kita yang juga masih minim, yakni Rp108,8 triliun. Kendati angka itu naik jika dibandingkan dengan anggaran untuk tahun 2023 ini, jumlah itu tetaplah tidak cukup untuk mengatasi tantangan pangan yang kian tidak menentu. Angka itu cuma 3,3% dari total belanja APBN tahun depan yang lebih dari Rp3.300 triliun.
Setelah pandemi covid-19 usai, kini muncul masalah baru, yakni krisis pangan. Banyak negara mulai mengamankan pasokan pangan dalam negeri mereka dengan cara menyetop ekspor. Akhir bulan lalu, India sebagai negara pengekspor beras nomor satu dunia menyetop ekspor beras nonbasmati hingga batas waktu yang belum diketahui.
Sebelum India, dua negara yang tengah berperang, Rusia dan Ukraina, mengecilkan keran pasokan gandum ke dunia. Negara produsen beras lainnya, Vietnam, juga bakal memangkas ekspor beras tahunannya hingga 44% mulai 2030 mendatang. Artinya, ekspor beras Vietnam yang biasanya 7,1 ton hanya menjadi 4 juta ton per tahun. 'Peta jalan' pemangkasan itu bahkan sudah mulai digulirkan tahun depan.
Wajar bila banyak negara konsumen beras dan gandum kian kelabakan. Kita hingga kini memang merasa masih 'aman' akan pasokan beras dalam negeri. Namun, siapa yang berani menjamin pasokan beras kita aman hingga tahun depan? Yang bisa dipastikan hanyalah ancaman El Nino dan perubahan iklim yang tidak menentu. Yang juga pasti, makin banyak negara memproteksi pangan untuk kebutuhan dalam negeri mereka.
Saat ini saja, Bulog sudah kesulitan mendapat beras impor dengan harga terjangkau untuk cadangan beras dalam negeri. Jika aksi 'setop ekspor' negara produsen beras dan pangan terus berlangsung, bukan hanya ketahanan pangan kita yang terpukul, melainkan cadangan pangan kita untuk jangka sangat pendek juga terancam.
Beberapa bulan lalu, Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin sudah mengingatkan bahwa kemampuan bertahan cadangan pangan Indonesia hanya 21 hari, sedikit berbeda dengan Vietnam yang ketahanan cadangan pangannya 23 hari. Indonesia terpaut agak jauh jika dibandingkan dengan Thailand yang memiliki cadangan pangan untuk 143 hari, India151 hari, Tiongkok 681 hari, dan Amerika Serikat 1.068 hari.
Menurut Global Food Security Index (GFSI), indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2022 juga hanya berada di level 60,2. Angka indeks ketahanan pangan itu masih lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global yang indeksnya 62,2, serta di bawah rata-rata Asia Pasifik yang indeksnya 63,4.
Posisi Indonesia berada di urutan keempat di Asia Tenggara. Tiga negara lainnya yang memiliki indeks ketahanan pangan lebih baik ketimbang Indonesia, yaitu Singapura sebesar 73,1, Malaysia 69,9, dan Vietnam sebesar 67,9.
Sebetulnya, situasi seretnya pasokan pangan global bisa jadi 'celah' bagi negeri ini untuk mengisinya. Namun, ketidakjelasan peta jalan meningkatkan ketahanan pangan, bahkan ada mimpi meraih kemandirian pangan berkelanjutan, membuat kekosongan itu tidak bisa kita isi. Malah, negeri ini ikut terkena ancaman krisis pangan global.
Anggaran ketahanan pangan dan Kementan yang paspasan ialah bukti bahwa tingkat respons atas ancaman amat standar. Ibarat kata, 'air sudah nyaris merendam hidung, tapi kita merasa air masih sepinggang'. Benar bahwa anggaran bukan segala-galanya. Namun, anggaran merupakan tolok ukur mula sampai di mana keberpihakan kita.
Jangan-jangan, kita memang cuma berharap mendapatkan monyet sehingga hanya sanggup menyediakan kacang. ***
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved