Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
MENJADI negara yang ramah terhadap investasi kiranya masih jadi kendala besar bagi Indonesia. Benar bahwa realisasi investasi kian meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, pertumbuhan investasi masih tidak seeksplosif yang seyogianya bisa diraih. Tingkat pertumbuhannya pun menunjukkan tren melambat.
Bukan cuma itu, kualitas investasi juga belum menggembirakan. Apa yang dipekikkan bahwa investasi kita terus meningkat, laiknya auman srigala: melengking di tengah rimba yang sebenarnya sunyi. Ada situasi yang sebenarnya tidak berbanding lurus antara obral kemudahan dan apa yang dihasilkan.
Pembentukan modal tetap bruto di negeri ini terus melambat. Padahal, pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk menggenjot masuknya investasi ke Tanah Air, termasuk menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah juga telah menggelontorkan sejumlah insentif dan fasilitas istimewa untuk menarik investasi.
Bahkan, Presiden Joko Widodo sudah menyempatkan datang ke kantor pengusaha kelas kakap dunia. Namun, bukannya meroket, pertumbuhan investasi tetap seret. Porsi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) turun terus, dari di angka 30% menjadi tinggal 28%. Pertumbuhan ekonomi pun seperti labirin: berputar-putar di kisaran 5%, padahal kita butuh ekonomi tumbuh 7%.
Lantas, di mana letak masalahnya? Sejumlah analis ekonomi menyebut ICOR (incremental capital output ratio) yang melonjak tajam menjadi biang keroknya. ICOR merupakan rasio antara investasi di tahun yang lalu dan pertumbuhan output regional. ICOR bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR, semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.
Dalam tujuh tahun terakhir, rasio ICOR Indonesia bertengger di level 6,3 bahkan lebih. ICOR yang tinggi tersebut membuat investasi di Indonesia melambat. Bahkan pada 2011-2015, ICOR Indonesia sempat memburuk dari 5,02 menjadi 6,64.
Coba bandingkan dengan rasio ICOR di sejumlah negara ASEAN. Rasio ICOR Malaysia sebesar 4,6, Filipina 3,7, Thailand 4,5, dan Vietnam 4,6. Itu berarti ekonomi negara tetangga kita lebih efisien, bisa meningkat cepat, dan investasi bisa mengalir lebih deras.
Selama perang dagang AS vs Tiongkok, investor lebih memilih merelokasi pabriknya ke Vietnam yang ICOR-nya hanya 4,6. Hal itu karena ICOR Indonesia yang kelewat tinggi. Bila ditelusuri, salah satu penyebab tingginya ICOR Indonesia ialah korupsi dan pungli yang mahal, birokrasi masih menghambat, produktivitas tenaga kerja, hingga soal biaya logistik yang terbilang menguras kantong pelaku usaha. Negara tetangga tidak perlu teriak please invest in my country, investor sudah paham sendiri soal hitungan biaya investasi dan risiko.
Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia, investasi Indonesia juga lemah dalam menggerakkan industrialisasi. Kandungan teknologi dalam pembentukan modal juga relatif rendah sehingga tidak terjadi peningkatan produktivitas secara berarti.
Dalam kajian ekonom Faisal Basri, pada lima tahun terakhir sekitar tiga perempat pembentukan modal berwujud bangunan, sedangkan yang dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10%. Bangunan semata tidak menghasilkan output fisik tanpa kehadiran mesin dan peralatan, tidak pula mampu mendorong ekspor barang. Seperti itulah wajah investasi di negeri ini.
Tidak mengherankan bila signifikansi pertambahan investasi terhadap kemampuan menyerap kerja kian merosot. Pada 2013, sepuluh tahun lalu, setiap Rp1 triliun investasi masih mampu menyerap lebih dari 4.500 tenaga kerja. Sewindu kemudian, Rp1 triliun investasi hanya mampu menyerap kurang dari 1.400 tenaga kerja, merosot tinggal sepertiganya saja.
Negeri ini butuh keringat lebih deras lagi untuk memperbaiki itu semua. Bila tidak, secara peringkat kemudahan berinvestasi Republik ini terus merosot. Seperti tahun lalu, saat Indonesia mencatatkan penurunan peringkat negara dengan foreign direct investment atau investasi asing langsung terbesar, yakni dari peringkat 15 pada 2020 ke posisi 20 di 2021.
Investasi asing langsung yang masuk memang meningkat. Tapi, peningkatannya masih kalah bila dibandingkan dengan sejumlah negara lain. Peningkatan yang jauh lebih akseleratif negara-negara lain dalam menggaet investasi asing itu tanda bahwa mereka jauh lebih kencang berlari, lebih sat set dalam berbenah diri. Investasi tidak cukup hanya dengan auman, ia butuh gerak gesit melakukan perubahan.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved