Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
TAK berlebihan kiranya Soe Hok Gie bilang bahwa politik ialah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Saking kotor nya politik, mereka yang bergulat di dalamnya kadang tak segan menggunakan cara-cara terkotor untuk mewujudkan ambisi.
Kampanye hitam lazim dalam politik. Pembunuhan karakter, pembusukan citra, fitnah, adu domba, kekerasan pun langganan dunia politik. Beragam teror politik itu jamak dilakukan, termasuk di perpolitikan Indonesia.
Banyak contoh teror politik di negeri ini, mulai yang sekadar verbal hingga pamer kekerasan fisik. Ia biasa bermunculan saban kompetisi demokrasi menjelang. Dulu pada 2014, misalnya, Joko Widodo yang merupakan kandidat kuat calon presiden menjadi sasaran teror. Rumah dinasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta di Menteng dipasang alat penyadap diam-diam. Teror ini mulai terdeteksi sejak Desember 2013.
Teror politik juga marak di banyak pilkada ataupun di Pilpres 2019. Politisasi agama dan identitas untuk menjatuhkan lawan membuat demokrasi di Republik ini cacat, jauh dari sempurna.
Itu semua belum cukup. Ada teror yang lebih gila lagi yang dilakukan hari-hari ini. Sasarannya ialah rumah eks Gubernur Banten Wahidin Halim di bilangan Pinang, Kota Tangerang, Rabu (25/1) dini hari. Modusnya, dua pelaku yang mengendarai sepeda motor melemparkan sekarung ular kobra ke kediaman Wahidin. Ya, sekarung ular kobra beneran, bukan ular mainan, bukan pula ular tangga.
Sungguh keji teror kali ini. Pelaku kelewatan betul. Dia tak sekadar berniat menyampaikan pesan menakutkan, tetapi berkehendak mencelakai, bahkan mengincar nyawa orang. Dengan membiarkan karung tidak terikat tentu dimaksudkan agar ular berhamburan keluar begitu mendarat di halaman belakang rumah Wahidin. Beruntung kobra yang jumlahnya mencapai 20 ekor itu masih betah di dalam karung.
Entah apa yang terjadi jika ular-ular nan berbisa itu tak segera diamankan dan keburu kelayapan di kediaman Wahidin. Ia bisa sewaktu-waktu menghadirkan petaka bagi siapa saja yang berada di sana. Satu saja mematuk, celakalah orang yang dipatuk.
Kobra ialah ular yang sangat mematikan. Seperti dilansir Live Science, bisa kobra bersifat neurotoksik yang menyerang sistem saraf menimbulkan masalah penglihatan, kesulitan menelan dan berbicara, kelemahan otot, kesulitas bernapas, gagal pernapasan, muntah, dan sakit perut. Jika tak lekas mendapat antivenom, korban bisa berhenti bernapas hanya 30 menit setelah digigit kobra. Begitu dekat jarak hidup dan mati. Banyak orang yang tak dapat diselamatkan setelah digigit kobra.
Belum bisa dipastikan, memang, apa maksud pelaku menebarkan binatang melata pencabut nyawa itu. Namun, itu diyakini tak lepas dari politik. Wahidin pun tak ragu bahwa teror itu bukan teror biasa dengan alasan-alasan biasa. ‘’Biasa, politik, tidak beradab. Bicara gimana meneror, menakut-nakuti, saya tidak takut. Ularnya kita pelihara aja, kita doain (pelaku) dapat hidayah,’’ katanya rileks.
Keyakinan bahwa teror sekarung kobra bukan teror biasa mendapat penegasan dari momentumnya. Teror itu dilakukan sebelum kedatangan Anies Baswedan pada pagi harinya. Anies ialah capres dari Partai NasDem.
Biarkan kepolisian mengusut siapa pelaku, siapa dalang, dan apa motif teror mematikan itu. Biarkan aparat membuat clear masalah ini agar tidak menjadi spekulasi. Yang pasti, apa pun tujuannya, teror ialah kejahatan yang pantang dibiarkan.
Tujuan teror ialah membuat yang diteror ketakutan. Jika yang diteror takut, cemas, panik, berhasillah misi kotor mereka. Di dunia politik, teror dilakukan untuk membuat lawan gentar lalu memundurkan langkah-langkah politik yang akan atau sedang ditapaki. Jika itu yang terjadi, menanglah sang peneror dan kelompoknya.
Kenapa pelaku melancarkan teror politik sejatinya juga dilatari oleh ketakutan akan kelebihan rival politik. Mereka tak ingin kelebihan itu menjadi lebih, lebih, dan lebih sehingga akhirnya tak terbendung lagi.
Tepat kiranya sikap Wahidin yang sangat santai menanggapi teror sekarung kobra. Teror sekotor apa pun, sekeji apa pun, memang tak semestinya membuat takut.
Biarkan mereka yang justru terus terbelenggu ketakutan. Persis tulisan dalam bahasa Sunda di kaus Anies saat hadir di Bandung akhir pekan kemarin. Abdi nu ngider naha anjeun nu keder ‘Saya yang keliling kenapa kalian yang takut’.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved