Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
SAYA masih penasaran dengan logika para pihak yang menghendaki pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup. Padahal, sistem lama itu dikoreksi karena dianggap kurang demokratis. Padahal, demokrasi ialah jalan yang kita pilih untuk mengoreksi sistem otoritarian yang serbamonolit.
Diam-diam, mulai ada yang merindukan masa lalu. Para perindu itu ingin menuntaskan rindunya dengan cara kembali ke masa lalu. Era itu dianggap masa keemasan, saat kejayaan elite. Adapun sistem saat ini, tidak menggaransi privilese, hak istimewa para elite.
Saya jadi teringat tulisan mendiang Azyumardi Azra berjudul Demokrasi Mau ke Mana?, beberapa tahun lalu. Ia menyebutkan era reformasi telah dua dasawarsa berlalu. Namun, kian banyak kalangan yang kritis dan skeptis terhadap masa depan demokrasi negeri ini.
Indonesia yang memilih jalan transisi dari rezim post-otoritarianism Orde Baru melalui Pemilu 1999, nyatanya belum berhasil keluar dari fase transisi demokrasi. Arah demokrasi juga kian berbelok, menuju jalan ketidakpastian.
Pernyataan Azyumardi itu dikonfirmasi oleh The Economist Intellegence Unit (EIU). Dalam sebuah laporannya, EIU menyebut indeks demokrasi Indonesia pada 2020 mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6,3 atau turun dari sebelumnya 6,48.
Untungnya, pada laporan EIU setahun kemudian, skor indeks demokrasi Indonesia kembali naik menjadi 6,71. Tapi, seiring dengan munculnya 'perlawanan' terhadap jalan demokrasi, sikap kritis dan skeptis tetap layak diapungkan.
Bukan perkara mudah meniti jalan transisi dan meneguhkan konsolidasi demokrasi. Pengalaman Angola menunjukkan masa transisi berakhir dengan meledaknya perang saudara dan kemudian mengembalikan kelangsungan rezim otoriter. Ada tarik-menarik antara kekuatan masyarakat sipil dan kekuatan antidemokrasi yang kerap membawa jargon keemasan masa lampau.
Situasi seperti itu digambarkan sosiolog dan antropolog Peter Worsley sebagai siklus otoritarianisme. Dalam The Third World, Worsley menyebut rekonsolidasi otoritarianisme itu merupakan gejala khas negara-negara dunia ketiga.
Apakah upaya mengembalikan sistem pemilu proporsional tertutup merupakan bagian dari apa yang dinujum Pak Worsley sebagai rekonsolidasi otoritarianisme? Semoga belum sejauh itu, meski tanda-tandanya mirip.
Bila memang itu sudah terjadi, kekuatan sipil tidak boleh tinggal diam. Sebab, pemilu merupakan bagian integral dalam negara demokratis. Pemilu itu sebuah conditio sine qua non demokrasi. Karena tanpa hadirnya, negara dianggap menanggalkan demokrasi.
Tapi, pemilu yang seperti apa? Karena selama rezim Orde Baru berkuasa pun, pemilu dapat dilaksanakan secara berkala. Pakai asas luber pula. Langsung, umum, bebas, dan rahasia. Tapi, pemilu di era Orde Baru yang memakai sistem proporsional tertutup itu hanya melahirkan 'kader jenggot'.
Kader seperti itu sekadar menggantungkan diri ke partai politik dan berkhidmat kepada kekuasaan, bukan kepada rakyat yang telah memilihnya. Itu kemudian dikoreksi menjadi sistem proporsional terbuka, yang mendekatkan pemilih dengan calon wakilnya.
Sistem itu sudah dinyatakan konstitusional pula oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2008. Bukankah putusan MK bersifat final dan mengikat? Mengapa yang sudah final dan mengikat itu dikembalikan ke 'semifinal' dan 'masih longgar'?
'Sungguh mati aku jadi penasaran', meminjam kalimat Rhoma Irama.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved