Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
SEORANG perempuan bercadar berjalan kaki di trotoar dari arah Harmoni menuju kawasan Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (25/10), sekitar pukul 07.00 WIB. Sesampainya di pintu masuk Istana Merdeka, perempuan tersebut tiba-tiba menghampiri anggota Paspampres yang sedang berjaga dan langsung menodongkan senjata.
Polisi lalu lintas yang melihat kejadian tersebut langsung merebut senjata yang ditodongkan dan menangkap perempuan tersebut. Belakangan diketahui perempuan muda tersebut bernama Siti Elina, 24, warga Jalan Sawal Raya, Kelurahan Tugu Selatan, Koja, Jakarta Utara.
Kasus yang semula ditangani Polda Metro Jaya itu kini diambil alih Densus 88 Antiteror Polri. Selain Elina, sang suami Bahrul Ulum dan guru Jamaluddin juga ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya disangkakan dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut penyidik, Elina dan suaminya pernah berbaiat kepada Negara Islam Indonesia (NII). Adapun pistol yang digunakan Elina ialah milik sang paman yang berprofesi sebagai sekuriti.
Berdasarkan penyidikan, Elina mengaku bermimpi masuk surga. Cara masuk surga adalah dengan jalan menegakkan kebenaran. Dia ingin menemui Presiden Joko Widodo di Istana untuk menyampaikan kepercayaannya bahwa ideologi yang dianut bangsa Indonesia, Pancasila, adalah salah. Yang benar, kata Elina seperti dikutip penyidik, ideologi berdasarkan hukum Islam.
Tindakan Siti Elina membuat banyak orang geleng-geleng kepala karena tindakan tersebut sebagai kebodohan yang nyata. Kekonyolan yang berakhir sia-sia, berakhir dengan dibui dalam waktu cukup lama karena dikenai UU Tindak Pidana Terorisme.
Pemahaman keagamaan seperti Siti Elina bukan hal baru di Republik ini. Kelompok yang merasa benar sendiri dan memonopoli surga, seperti Elina, masih ada. Bahkan, semakin besar pengaruhnya di masyarakat akhir-akhir ini.
Mereka merasa pantas menyandang sebagai ahlul sunnah (pengikut sunah Nabi Muhammad SAW), sedangkan yang lain dituding ahlul bid’ah (pembaruan ajaran Islam tanpa berpedoman pada Al-Qur’an dan hadis) serta kafir.
Klaim kebenaran tunggal dalam kehidupan keagamaan acapkali menciptakan benturan. Meski sesama Islam, para ‘pemegang kunci surga’ ini tidak segan untuk menciptakan konflik di masyarakat. Tak sekedar benturan sosial, mereka pun sanggup melakukan tindakan terorisme.
Berdasarkan laporan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), ada 370 tersangka terorisme di Tanah Air pada 2021. Padahal, jumlah tersangka terorisme pada tahun sebelumnya sebanyak 232 orang. Ini artinya, ada kenaikan 59,48% jika dibandingkan dengan di 2020.
Dalam sebuah diskusi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Antiteror yang dihadiri oleh penulis diketahui bahwa para pelaku terorisme memiliki paham keagamaan yang sama, yakni salafi wahabi.
Paham keagamaan seperti itu dalam lingkup terkecil tak ingin bergabung dengan paham yang lain. Mereka tak canggung pula untuk menarik demarkasi dengan kelompok lain. Tak mengherankan jika muncul kasus di sejumlah di masjid, kelompok yang ‘memborong kunci surga’ ini menggusur kelompok di luar mereka.
Dalam kehidupan sosial di sebuah kompleks perumahan pun mereka enggan berbaur. Mereka juga tak pernah mengikuti kegiatan 17 Agustusan di kompleks atau di lingkungan mereka tinggal.
Jika kelompok seperti ini dibiarkan tumbuh subur, hal itu merupakan sebuah ancaman bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa, menurut mendiang Cak Nur (Nurcholis Madjid), adalah kalimatun sawa (titik pertemuan) di antara berbagai kelompok atau pandangan keagamaan. Jika tak setuju dengan Pancasila dan UUD 1945, apakah kelompok seperti itu pantas
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved