PARTAI politik dan rakyat ialah dua sisi dari sekeping mata uang bernama pemilihan presiden. Calon presiden hanya dapat diajukan partai politik dan pada sisi lain hanya rakyat yang menentukan calon presiden terpilih.
Ketika sudah terpilih, presiden memerlukan dukungan partai politik yang memiliki anggota di DPR dan pada sisi lain menempatkan rakyat dalam posisi yang menentukan legitimasi seorang presiden.
Relasi antara partai politik dan rakyat dikupas secara baik dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. MK berpendapat bahwa idealnya menurut desain UUD 1945, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden sangat berkaitan dengan dua dukungan, yaitu dukungan rakyat pada satu sisi dan dukungan partai politik pada sisi yang lain.
Sebagai pemegang monopoli mengajukan calon presiden, partai politik sudah pasti mempertimbangkan dukungan rakyat atas calon yang diusulkan. Dukungan rakyat dipertimbangkan karena meminjam argumentasi MK, rakyat dalam posisi yang menentukan karena siapa yang menjadi presiden sangat tergantung pada pilihan rakyat.
Dengan demikian, baik partai politik yang sudah maupun belum menetapkan capres, pastilah memilih calon secara cermat, teliti, dan menolak sembrono. Salah satu ukuran yang objektif menolak sembrono ialah calon menempati peringkat atas hasil survei.
Tidak perlulah mengajari partai politik untuk menentukan capres. Jika itu dilakukan sama saja mengajari ikan berenang. Memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada partai politik untuk menetapkan capres ialah mencerminkan sikap demokratis. Tanpa partai politik, tidak akan ada demokrasi. Tanpa partai politik, tidak akan ada pemilihan presiden.
Ada dua undang-undang yang memberikan hak monopoli partai politik mengajukan capres, yaitu UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 2/2011 tentang Perubahan atas UU 2/2008 tentang Partai Politik.
Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu menjelaskan bahwa penentuan capres dan/atau cawapres dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.
Kemudian, Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 tentang Partai Politik menjelaskan bahwa rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan bakal calon presiden dan wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan.
Konstitusional Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 sudah diuji Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 42/PUU-XX/2022. Dengan demikian, memercayakan sepenuhnya partai politik menentukan capres ialah sikap penghormatan terhadap konstitusi.
Undang-Undang Pemilu juga tidak membatasi waktu partai politik untuk mendeklarasikan capres. Pasal 225 ayat (1) UU 7/2017 menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik dapat mengumumkan bakal calon presiden dan/atau bakal calon wakil presiden sebelum penetapan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pengumuman itu, menurut ayat (2), harus sudah mendapatkan persetujuan tertulis dari bakal calon yang bersangkutan.
Jika cermat membaca ketentuan Pasal 225 itu, tidak pada tempatnya untuk mempersoalkan partai politik yang sudah mendeklarasikan capres. Pesan Presiden Joko Widodo dalam ulang tahun Partai Golkar cukup menarik, jangan berlama-lama (menentukan capres). Jika penetapan capres menunggu saat-saat terakhir, itu namanya last minute mentality, yang mencerminkan buruknya penghargaan terhadap waktu.
Meski diberi hak monopoli penentuan capres, tidak ada satu undang-undang pun yang mengatur secara spesifik proses dan tahapan penentuan capres di internal partai politik. Undang-Undang Pemilu justru berada dalam satu tarikan napas dengan Undang-Undang Partai Politik perihal pemberian otonomi kepada partai politik untuk menentukan capres.
Otonomi partai politik terkait dengan capres wajib dihormati. Penghormatan yang sama mesti diberikan kepada PDIP yang memberikan sanksi kepada kadernya. Laman pdiperjuangan.id memuat berita berjudul Sekjen PDI Perjuangan: Siapa pun Sebut Nama Capres sebelum Megawati akan Disanksi.
Ancaman Hasto tidak main-main. Ganjar Pranowo pun dijatuhi sanksi teguran lisan oleh Dewan Kehormatan PDIP akibat pernyataannya di media. Di media tersebut, Ganjar menyatakan siap menjadi capres pada Pemilu 2024. Menanggapi sanksi tersebut, Ganjar meminta maaf.
Kiranya perlu dipertimbangkan ke depannya untuk merevisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik agar partai politik benar-benar wajib menjalankan ketentuan terkait dengan capres, yaitu dilakukan secara demokratis dan terbuka. Aspek demokratis harus tecermin dengan melibatkan seluruh komponen partai mulai level terendah sampai level tertinggi.
Bila perlu dibuatkan regulasi penentuan capres melalui mekanisme pemilihan pendahuluan di internal partai. Teknis pemilihan pendahuluan itu wajib masuk anggaran dasar dan rumah tangga partai politik. Hanya itu cara paling elegan, bukan dengan kata-kata, untuk menolak sembrono dalam penentuan capres.