KOMISI Pemberantasan Korupsi menetapkan hakim agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka. Ia diduga menerima suap agar memutus perkara kasasi dengan menyatakan koperasi Intidana pailit.
Putusan perkara dimaksud Nomor 874 K/Pdt.Sus-Pailit/2022, dimuat di website Mahkamah Agung. Disebutkan perkara itu diputuskan dalam rapat musyawarah majelis hakim pada 31 Mei 2022. Majelis hakim diketuai Syamsul Ma’arif dengan hakim anggota Sudrajad Dimyati dan Ibrahim.
Kata teman saya, hebat nian Sudrajad Dimyati. Meski hanya sebagai anggota majelis hakim, Sudrajad mampu menentukan putusan sesuai dengan yang dimintakan pemberi suap.
Putusan itu tertera di halaman 9. Isinya, pertama, mengabulkan permohonan kasasi dari 10 pemohon kasasi, termasuk Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Kedua, membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 1/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2022/PN Niaga Semarang, juncto Nomor 10/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN Niaga Smg tertanggal 22 Maret 2022.
Selain itu, ada enam poin putusan 'mengadili sendiri', antara lain mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan Koperasi Simpan Pinjam Intidana pailit dengan segala akibat hukumnya.
Teman saya yang membacakan secara lengkap putusan sebanyak 11 halaman itu tampak tertegun sebab putusan itu dimulai dengan irah-irah 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa', tapi ujung-ujungnya duit. Ia berharap agar KPK memeriksa semua hakim yang terlibat dalam perkara itu.
Kata teman saya, meski kelak terbukti bahwa putusan pailit Koperasi Intidana dipengaruhi uang, putusan itu tetap dinyatakan sah sampai ada putusan pengadilan yang membatalkannya.
Begitu berkuasanya hakim yang disapa 'yang mulia' dalam persidangan. Ia dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga dibenarkan menjatuhkan vonis mati seseorang sampai membangkrutkan perusahaan.
Ada keutamaan yang mesti dimiliki wakil Tuhan di Mahkamah Agung. Keutamaan itu tertera dalam Pasal 6A UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Dirumuskan bahwa hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Selama menjadi 'yang mulia', hakim terikat dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama antara MA dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009.
Disebutkan bahwa wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa' menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Faktanya jauh panggang dari api, tidak sedikit hakim yang jatuh dalam percobaan perbuatan tercela. Selama semester pertama 2022, Komisi Yudisial menjatuhkan delapan usul sanksi kepada 11 hakim karena terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sebelumnya, sepanjang Januari hingga November 2021, KY menjatuhkan sanksi kepada 85 hakim.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku menuntun hakim untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Hakim yang berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim ialah suatu kemuliaan (officium nobile).
Tuntunan itu sejalan dengan pandangan Immanuel Kant bahwa kehormatan, martabat, dan perilaku hakim akan tetap tegak, luhur, dan terjaga ketika hakim dalam menjalankan profesinya tidak saja mendasarkan diri sebagai manusia dalam bekerja dan berpikir dalam memeriksa, mengadili, dan memutus kasus yang mempertimbangkan teknis yuridis, tetapi juga prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip etis itulah yang kerap diterabas.
Hakim yang baik, meminjam Odette Buitendam, tidak lahir dengan sendirinya, tapi melalui pembentukan. Pembentukan itu didapat lewat mekanisme rekrutmen. Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden.
Sudrajad Dimyati yang kini tidak pantas menyandang sebutan wakil Tuhan itu juga mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR pada 2013. Meski diterpa isu suap di toilet, Sudrajad tetap melenggang kangkung ke Mahkamah Agung.
Sebaik-baiknya mekanisme rekrutmen yang ada, tanpa melibatkan partisipasi publik secara sungguh-sungguh, hasil akhirnya mengalir ke laut. Jika itu yang terjadi, fit and proper test terhadap calon hakim agung bukan sebuah proses pencarian untuk menemukan keagungan. Itu ialah proses adu kepintaran untuk menemukan dosa yang mati-matian disembunyikan. Termasuk mati-matian menyembunyikan isu suap di toilet yang diduga melibatkan Sudrajad.