Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
DULU, dulu sekali, ada adagium bahwa sepak bola Indonesia lebih dikenal karena sepak terjang pengurus PSSI ketimbang prestasi tim nasional. Rupanya, setelah berpuluh-puluh tahun terlewati, adagium itu masih berlaku hingga kini.
Antara pengurus PSSI dan skuad 'Merah Putih' sungguh berbeda keterkenalan mereka. Pengurus PSSI terkenal karena kerap membuat heboh, sementara timnas sudah teramat lama tanpa suara. Diam untuk pamer keberhasilan, diam seolah tiada kemampuan untuk membuat para pecinta sepak bola negeri ini bangga.
Bayangkan, terakhir kali timnas merasakan nikmatnya juara pada 1991 di SEA Games Manila. Artinya, sudah 31 tahun kita puasa gelar. Prihatin? Tentu saja. Namun, itu belum seberapa. Lebih prihatin lagi, di tengah konsistensi resesi prestasi, pengurus PSSI masih saja semaunya sendiri.
Lagi-lagi, sepak bola kita dibuat ramai di luar lapangan. Kepengurusan PSSI di bawah Ketua Umum M Iriawan kiranya sewajah dengan para pendahulunya. Tak usah kita terlalu banyak menghitung hari yang sudah terlampaui untuk mengatakan bahwa PSSI masih sama seperti dulu, PSSI yang hobi kontroversi. Cukuplah kita tengok hari-hari belakangan ini.
Ambil contoh awal Juni 2022. Ketika itu, skuad 'Garuda' tampil apik untuk mengalahkan Kuwait di Kualifikasi Piala Asia 2023 2-1. Kemenangan itu memang bersejarah. Itulah kemenangan pertama Indonesia dalam enam pertemuan selama 42 tahun atas Al-Azraq.
Publik tentu senang atas kemenangan itu. Namun, kegembiraan berubah menjadi kekesalan. Pecinta sepak bola kesal karena klaim bahwa dalam kemenangan atas Kuwait ada andil Iriawan. Dalam ulasannya di laman resmi PSSI, Iwan Bule dipuji setinggi langit.
Selang sebulan kemudian, PSSI kembali panen hujatan. Penyebabnya, Iriawan ikut-ikutan mengangkat trofi Piala AFF U-16 2022 seusai Indonesia menundukkan Vietnam di final di Maguwoharjo, DIY. Podium juara ialah milik pemain, kepunyaan tim. Kalau ada pengurus ikut naik podium, mengangkat piala, apa kata dunia?
Akhir-akhir ini, kontroversi datang lagi dari PSSI. Pemantiknya, pembatalan penggunaan Jakarta International Stadium (JIS) sebagai arena uji coba lawan Curacao. Alasannya, PSSI menilai JIS belum sesuai dengan standar FIFA sehingga belum layak untuk menjamu tim asal Karibia itu.
Curacao ialah negeri mungil yang berpopulasi cuma 155 ribu lebih, tetapi berperingkat ke-84 FIFA, atau 71 tingkat di atas Indonesia. Ada beberapa poin yang diungkapkan PSSI dengan mengerucut ke dua hal, yakni safety dan security. Sekjen PSSI Yunus Nusi dengan fasih membeberkan sederet kondisi JIS yang tak layak, yang dianggap tak memenuhi standar FIFA, itu. Singkat cerita, latih tanding kontra Curacao di JIS pada 27 September nanti dipindahkan ke Pakansari.
Pindah stadion sejatinya hal biasa. Namun, kepindahan dari JIS menjadi tak biasa. Penyebabnya? Apa lagi kalau bukan Anies Baswedan. Ya, karena JIS dibangun Anies, soal JIS menjadi liar.
Bagi para pembenci, sikap PSSI ialah mesiu baru untuk menyerang Anies. Para buzzer yang selama ini garang menyerang mendapatkan amunisi tambahan.
Kebalikannya buat pecinta Anies. Menurut mereka, PSSI tengah bermain politik. PSSI dianggap hendak menjatuhkan Anies. Ramai pula tudingan pemindahan laga lawan Curacao ke Pakansari ialah bagian dari upaya Iwan Bule investasi simpati ke masyarakat Jawa Barat. Dia disebut-sebut hendak maju memperebutkan kursi Jabar-1.
Ketika meliput Piala Dunia 2022 di Korea Selatan, saya menyambangi sejumlah stadion tempat laga digelar. Ada Stadion Piala Dunia Seoul, Munhak Incheon, Asiad Busan, Suwon, Gwangju, dan Munsu Ulsan. Semuanya bagus, dan yang pasti sudah memenuhi standar FIFA.
Ketika meliput Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, saya hadir di beberapa stadion. Ada Soccer City dan Ellis Park di Johannesburg, Stadion Cape Town di Cape Town, Mbombela di Nelspruit, dan Loftus Verfeld di Pretoria. Semuanya bagus dan yang pasti sudah memenuhi kriteria FIFA. Pun ketika saya mewartakan Piala Eropa 2004 di Portugal.
Namun, dari semua stadion itu kiranya tak ada yang semegah JIS. Kecuali Soccer City, kapasitasnya pun tak sebanyak JIS. JIS berdaya muat 87 ribu penonton. JIS juga canggih. Ia satu-satunya stadion di Asia Tenggara yang punya atap buka tutup sehingga ketika hujan sederas apa pun tak perlu khawatir lapangan tergenang.
Saya tidak tahu pasti apakah dengan segala kehebatannya itu JIS belum punya kelayakan FIFA seperti kata PSSI. Namun, bolehlah kita bermain logika. Apa iya stadion sebesar itu, semegah itu, secanggih itu, hanya berkualifikasi nasional atau regional? Sungguh naif pembangun stadion menghabiskan biaya Rp4,5 triliun, tapi cuma untuk kelas tarkam.
Saya yakin, Pemprov DKI Jakarta tidak sebodoh itu. Mereka pun sudah mengklarifikasi bahwa rancang bangun dan pelaksanaan pembangunan JIS sudah berpatokan pada ketentuan FIFA.
Saya tidak ingin mengatakan PSSI telah bermain politik. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa olahraga, termasuk sepak bola, haram hukumnya dijadikan kuda tunggangan politik. Kick politics out of football, itulah jargon dunia kulit bundar.
Ada baiknya FIFA bersuara soal JIS. Jika memang belum layak, pengelola mesti segera membenahi. Jika sebaliknya, kiranya Iwan Bule dan kawan-kawanlah yang memang tak layak mengurusi PSSI. Pecinta sepak bola nasional sangat merindukan prestasi, bukan lagi kontroversi.
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved