Headline

Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.

Fokus

Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.

Guru Besar Miskin Nalar

Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group
22/4/2022 05:00
Guru Besar Miskin Nalar
Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

NAMA Karna Wijaya mendadak menjadi buah bibir hari-hari ini. Namun, dia mendapatkan atensi bukan karena prestasi, melainkan lantaran kontroversi. Dia dianggap melakukan ujaran kebencian lewat medsos.

Karna disorot setelah mengunggah status di Facebook untuk mengomentari pengeroyokan terhadap Ade Armando. Dia menulis, ‘Yang   nemu celananya, jangan lupa dikembalikan, ya, mau dipakai ngajar’.

Tak hanya dianiaya, Ade memang sempat ditelanjangi pengeroyok.

Karna juga mengunggah rangkaian foto Ade dan teman-temannya dengan tulisan ‘Satu persatu dicicil massa’. Di foto Ade ada tanda silang merah. Guntur Romli yang masuk kolase kemudian melaporkannya ke polisi terkait dengan dugaan penghasutan atau pengancaman.

Soal ujaran kebencian di medsos, negeri ini jagonya. Banyak, teramat banyak, ia diproduksi warganet. Namun, Karna bukan warganet biasa. Dia akademisi tingkat tinggi. Dia profesor. Guru besar. Di salah satu universitas ternama lagi.

Sebagai profesor, guru besar, Karna pasti pintar. Dia dosen tetap di jurusan kimia FMIPA UGM. Dia lulus S-1 di ‘Kampus Biru’, menyabet gelar S-2 di Waseda University, Jepang, dan membawa pulang gelar doktor dari Technische Universitat Carolo Wilhelmina, Braunschweig, Jerman.

Karena itu, amat sulit untuk memahami kenapa Karna mengunggah narasi beraroma ujaran kebencian. Tidak paham juga kenapa dia yang kemudian minta maaf beralasan bahwa unggahannya hanya bercanda, guyon, gojekan. Banyak yang marah, tidak sedikit yang geram.

Karna bukan satu-satunya profesor yang berlaku seperti itu. Sebelumnya ada Yusuf Leonard Henuk. Yusuf merupakan guru besar di Departemen Ilmu Peternakan Universitas Sumatra Utara, Medan. Dia lulusan sarjana Universitas Nusa Cendana, S-2 di University of New England, dan S-3 di University of Queensland, Australia.

Sebagaimana Karna, seperti halnya guru besar pada umumnya, Yusuf pasti pintar. Sayangnya, di media sosial, kepintaran itu seolah memudar. Tak cuma sekali dua kali, dia berulang kali mencuatkan kontroversi. Berseri. Berjilid-jilid.

 

Suatu hari, Yusuf menyerang SBY dengan cicitan bernada penghinaan. Dia mengingatkan SBY yang meminta pemerintah hati-hati agar tak salah hitung soal vaksin covid-19 tahu diri karena sudah mantan jangan sok mengajari Jokowi. Dia bahkan menjuluki SBY bapak mangkrak Indonesia. Dia juga menyebut SBY dan putranya, AHY, bodoh.

Di lain waktu, Yusuf berkicau tentang mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai. Kicauannya berbau rasialis. Yusuf pernah pula menulis status agar diberi kesempatan untuk melawan para bandit yang dipimpin bupati Taput, Tapanuli Utara. Soal ini, dia terbukti melakukan pencemaran nama baik dan divonis 3 bulan penjara percobaan 6 bulan.

Yusuf tetap saja ngegas. Terkini, dia menuding Rektor Universitas Ibnu Chaldun Musni Umar sebagai profesor gadungan. Profesor palsu. Dia dilaporkan ke polisi, tapi balik lapor. Dua profesor saling lapor.

Bolehkah seorang profesor bermain medsos? Tidak ada orang, juga tak ada aturan yang melarang. Bolehkah seorang guru besar menarasikan ujaran kebencian? Jangankan guru besar, guru kecil pun dilarang.

Otak encer bisa membeku jika seseorang teracuni sisi buruk politik. Otak besar bisa mengecil jika seseorang mabuk agama atau keyakinan. Sekelas profesor pun bisa kehilangan nalar karenanya.

Aroma politik kiranya sulit kita jauhkan dari sepak terjang Prof Yusuf. Dari sejumlah unggahannya, dia cenderung berkonfrontasi dengan orang-orang yang berseberangan dengan Jokowi. Yang suka mengkritik Jokowi. Dia pendukung Jokowi. Dia bahkan pernah mengirimkan surat lamaran kepada Jokowi agar diangkat menjadi menteri.

Aroma politik sulit pula dilepaskan dari kasus Karna. Ade Armando merepresentasikan kubu Jokowi. Mereka yang merayakan dia dianiaya kebanyakan yang berseberangan dengan Jokowi. Kasus Armando juga kental dengan urusan keyakinan. Dia dikeroyok karena dianggap penista agama. Saya tidak tahu Prof Karna pendukung atau oposisi Jokowi.

Profesor, guru besar, ialah jabatan besar dengan tanggung jawab besar. Tak cuma di keilmuan, tapi juga tanggung jawab sosial. Tugas profesor, selain membimbing calon doktor, menulis buku dan karya ilmiah, perlu menyebarluaskan ide-ide untuk mencerahkan masyarakat. Bukan malah membuat suram masyarakat yang sudah hidup dalam suasana suram.

Profesor, guru besar, eloknya tak main politik. Kalau ingin berpolitik, tanggalkan dulu jabatan itu. Presiden Brasil 1995-2003 Fernando Henrique Cardoso punya pesan menarik soal ini.

Cardoso merupakan dosen sosiologi, profesor di Universitas Sao Paolo. Saat memilih politik, dia melepas statusnya, lalu kembali lagi seusai pensiun dari politik. Kata dia, “Sebagai akademisi, Anda dilatih untuk mengatakan kebenaran, tetapi seorang politisi diajarkan mengatakan kebohongan, setidaknya mengamini kebohongan. Sebagai politisi, jika Anda mengatakan apa yang Anda inginkan, Anda tidak akan mendapatkan apa yang Anda inginkan.”

Politik, juga fanatisme agama yang kebablasan, tak baik buat akademisi, buat profesor. Ia dapat menyebabkan  seorang guru besar kehilangan miskin nalar.



Berita Lainnya
  • Gibran Tuju Papua Damai

    14/7/2025 05:00

    KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.  

  • Negosiasi Vietnam

    12/7/2025 05:00

    DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.

  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  • Senja Kala Peran Manusia

    07/7/2025 05:00

    SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.

  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.