Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
KPK piawai melakukan operasi tangkap tangan. Mampukah KPK menangkap tangan terhadap diri sendiri?
Alkisah seorang saksi bersuara di pengadilan bilang bahwa Azis Syamsuddin punya orang di KPK yang bisa digerakkan Azis untuk kepentingan OTT atau mengamankan perkara. Jumlahnya delapan orang. Satu orang telah menjadi terdakwa, telah dipecat, menjadi 'orang luar'. Tujuh lainnya masih berada di dalam KPK, masih 'orang dalam' KPK.
Semua itu dugaan. Bukan fakta hukum. Justru di situlah letak persoalan. Mampukah KPK menyelidikinya menjadi fakta hukum?
Saksi tersebut mengatakan hal itu di pengadilan yang mengadili seorang mantan penyidik KPK yang menjadi kaki tangan Azis Syamsuddin. Saksi ialah mantan Sekda Kota Tanjungbalai, Sumatra Utara, tersangka dalam perkara jual-beli jabatan. Dia mendapatkan informasi perihal delapan 'orang dalam' KPK itu dari Wali Kota Tanjungbalai yang juga tersangka dalam perkara yang sama dengan mantan sekda.
Adapun Azis Syamsuddin tersangka untuk perkara di Lampung Tengah. Dia diduga menyuap seorang penyidik KPK. Sang penyidik ialah terdakwa yang membantah keterangan saksi mantan Sekda Tanjungbalai bahwa dia mengenalkan penyidik lain di KPK kepada Azis Syamsuddin. Pada sidang Senin (11/10), mantan Wali Kota Tanjungbalai sebagai saksi bahkan mengatakan adanya 'atasan' sang penyidik di KPK yang membutuhkan uang. "Di atas lagi pada butuh", yang diucapkan mantan penyidik KPK ketika menagih uang kepada mantan wali kota.
Apa kata KPK? Semua itu masih merupakan 'keterangan karena mendengar orang lain'. Sebuah jawaban 'standar'. Sampai kapan? Sumber mengenai delapan 'orang dalam' KPK itu berada di dalam sel tahanan KPK. Yang dicari berada di dalam rumah sendiri. Kiranya inilah berburu bukti yang dapat digolongkan di 'pekarangan' sendiri.
Keterangan pun dapat digali dari (sekarang) orang luar, yang sebelumnya orang dalam yang sangat tersohor, yang tak lolos seleksi menjadi ASN di KPK. Melalui akun media sosialnya, dia mengatakan timnya dan tim lain yang juga tak lolos seleksi mengungkapkan kasus itu.
Demikianlah upaya pencarian bukti hukum tentang 'delapan orang dalam' KPK yang disebut dapat digerakkan Azis Syamsuddin terbayang oleh awam bukan perkara yang sulit bagi KPK. Bukankah salah satu kehebatan KPK ialah berkemampuan mendapatkan sedikitnya dua bukti hukum terhadap 'orang luar'? Sekarang KPK diuji, apakah kemampuannya itu berlaku terhadap 'orang dalam', terhadap dirinya sendiri?
Pekan lalu saya diceritain penyamaran orang KPK di dalam operasi tangkap tangan Bupati Klaten, Jawa Tengah. Yang satu menyamar sebagai tukang ojek, yang satu lagi menyamar sebagai tukang jual balon. Hal itu mereka lakukan di depan rumah dinas bupati. Si tukang jual balonlah yang kemudian masuk ke rumah bupati melakukan OTT.
Kisah nyata penyidik KPK itu, yang diceritakan seorang lurah, membuat rasa bangga kita memiliki KPK. Rasa bangga itu kini terganggu oleh suara seorang saksi di pengadilan bahwa ada delapan 'orang dalam' KPK yang dapat digerakkan 'orang luar' yang bernama Azis Syamsuddin. Azis bukan sembarang orang. Dia Wakil Ketua DPR. Lagi pula bersuara di pengadilan tentu berbeda dengan bersuara di lapo tuak.
Suara itu bermuatan dugaan pidana. Bukan (semata) muatan etika. Siapakah yang dapat mengusut, mencari bukti hukum/fakta hukum ke dalam tubuh KPK? Siapakah gerangan agar tidak dituduh mengintervensi KPK?
KPK terlalu suci untuk digeledah dari 'luar' ke 'dalam' tubuh KPK oleh pihak yang berwenang menurut undang-undang sekalipun. Oleh karena itu, kita pasrah bongkokan hanya KPK yang bisa membersihkan dirinya sendiri, di rumahnya sendiri. Di sinilah letak ironisnya superbodi KPK. Di sinilah pula skeptisisme terhadap Dewan Pengawas KPK.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved