Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Demokrasi ala Bung Hatta

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
01/9/2021 05:00
Demokrasi ala Bung Hatta
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI. Ebet)

TANGGAL 12 Agustus lalu ialah hari lahir salah satu proklamator kita, Bung Hatta. Sosok tenang yang dikenal sebagai man of work, alias orang di belakang layar, itu merupakan peletak dasar demokrasi kita. Saat perjalanan demokrasi kita mulai dikeluhkan, ada baiknya kita menengok warisan mahal demokrasi yang dirintis Bung Hatta.

Ada banyak peristiwa yang bisa menjelaskan bagaimana Bung Hatta mempraktikkan demokrasi. Ada kalanya agak rumit, tapi tidak jarang pula dengan cara sederhana, bahkan mengundang tawa. Misalnya, peristiwa awal Januari 1949, saat Ali Sastroamidjojo dan Mohamad Roem tiba di Menumbing, Bangka. Mereka ditempatkan di sebuah pesanggrahan milik perusahaan timah Belanda. Mereka disambut Bung Hatta, Mr Asaat, Komodor Suryadi Suryadarma, dan AG Pringgodigdo yang sudah duluan ditawan Belanda setelah agresi militer kedua Belanda.

Sehari di tempat itu, Bung Hatta memberikan semacam pengarahan kepada para 'pendatang baru' tersebut. Pertama, kendati berada di pengasingan, mereka harus tetap bersikap sebagai petugas resmi Republik Indonesia. Tetap berpakaian rapi. Tidak boleh memakai piama atau sarung. Selain itu, Hatta menandaskan perlunya memegang teguh asas demokrasi.

“Misalnya,” ujar Hatta sebagaimana dikutip Ali dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, “Kalau mandi, janganlah memakai air sesukanya sendiri. Saya sudah mengukur isi tempat air mandi dan ternyata airnya cukup kalau saudara-saudara masing-masing hanya memakai 10 gayung tiap-tiap kali mandi."

Mereka tertawa, tapi mematuhinya dengan serius. Itu semacam praktik sederhana demokrasi. Namun, kendati sederhana, 'demokrasi air' Bung Hatta bermakna serius: tidak boleh seenaknya sendiri, bebas sebebas-bebasnya tanpa aturan, tanpa tanggung jawab.

Pemikiran Mohammad Hatta tentang demokrasi Indonesia memang berbeda dengan prinsip-prinsip demokrasi di Barat, tempat ia menimba ilmu. Bung Hatta mendasarkan praktik demokrasi berdasarkan tiga sumber gagasan, yaitu ajaran Islam, asas kekeluargaan dan kebersamaan, serta sosialisme Barat. Gagasan itu muncul karena ia anggap ada praktik-praktik demokrasi Barat yang tidak sepenuhnya kompatibel dengan Indonesia.

Karena itu, saat menempuh pendidikan di Belanda itulah, Bung Hatta justru mengkritik sebuah sistem demokrasi yang ia anggap sebagai demokrasi rasial. Kehidupan di Belanda sangat demokratis, tetapi Belanda sendiri tidak mau menerapkan nilai-nilai tersebut di daerah jajahan mereka. Bung Hatta menerima konsep demokrasi Barat, tapi dengan sangat kritis.

Hatta melihat bahwa demokrasi di Barat tidak bisa dilepaskan dari konsep liberalisme individualisme. Individualisme yang diartikan bahwa setiap orang memiliki kehendak untuk melakukan apa pun yang dia lakukan dan dijamin apa pun. Kritik Hatta terhadap hal tersebut ialah ketika kehendak atau individualisme ini terlalu ditekankan secara membabi buta, yang lahir hanya demokrasi politik, tanpa demokrasi dan keadilan ekonomi.

Kritik-kritik tajam Hatta terutama pada asumsi yang dipegang individualisme bahwa seakan negara hanya menjadi 'penjaga malam' dan tidak mengurusi bagaimana proses keadilan sosial dijalankan. Itulah mengapa konsep keadilan sosial mendapatkani tempat yang sangat tinggi dalam pemikiran demokrasi Bung Hatta. Negara bukan sekadar penjaga malam atau event organizer. Dalam demokrasi Bung Hatta, negara harus hadir, tapi tidak mengekang hak rakyatnya untuk berekspresi.

Ia mengkritik demokrasi Barat yang dianggap lalai terhadap tujuan awal berdirinya demokrasi, yaitu liberte (kebebasan dan kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Bagi Bung Hatta, demokrasi Barat telah tercerabut dari akarnya sendiri.

Dari situlah Bung Hatta memberikan narasi demokrasi dengan apa yang dia ambil dari nilai-nilai berdasarkan Islam inklusif, yang menitikberatkan pada kebenaran dan keadilan sosial. Selain itu, latar belakang pemikiran demokrasi seorang Bung Hatta ialah dimasukkannya nilai-nilai asli demokrasi Indonesia, yang disebut kekeluargaan dan kebersamaan, serta sosialisme kemanusiaan.

Saya jadi ingat jawaban Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, di Forum Kebangsaan 50 Tahun CSIS. Saat itu, Surya Paloh dimintai tanggapan oleh peneliti CSIS Arya Fernandes tentang survei sejumlah lembaga internasional yang menyebut demokrasi kita kian mundur. Surya Paloh tidak gundah dengan semua penilaian itu. Ia justru risau dengan praktik demokrasi kita yang superliberal dan nyaris menanggalkan responsibilitas.

Jawaban itu amat pas dengan demokrasi superbernas yang digagas Bung Hatta dan sudah menjadi konsensus kita bersama. Sayangnya, banyak dari kita yang gemar melenceng dari konsensus dan terlalu rendah diri dengan gagasan orisinal anak bangsa.



Berita Lainnya
  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik