Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

John Lie, Sin Po, Ivana Lie

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
13/2/2021 05:00
John Lie, Sin Po, Ivana Lie
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

INI kisah tentang kiprah anak bangsa, kebetulan beretnik Tionghoa, yang sangat mencintai Indonesia. Yang pertama, Laksamana Muda John Lie. John Lie atau Jahja Daniel Dharma, di masa pendudukan Belanda bekerja di kapal Belanda.

Karena cinta tanah kelahirannya, Indonesia, dia meninggalkan pekerjaannya dan bergabung dengan pejuang-pejuang revolusi di bidang maritim. Selama masa perjuangan melawan Belanda, John Lie antara lain menjadi penyelundup senjata untuk kepentingan revolusi dan membersihkan ranjau-ranjau. Berkat jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.

Lalu, ada koran Sin Po yang dikelola para awak beretnik Tionghoa, yang kiprahnya sangat bermakna bagi Republik ini. Melalui pemberitaan, Sin Po mengganti istilah 'Nederlandsch Indie', 'Hindie Nederlandsch', atau 'Hindia Olanda', yang saat itu melekat pada negeri ini, dengan sebutan 'Indonesia'.

Sejarawan Asvi Warman Adam dalam bukunya Menguak Misteri Sejarah (2010) melukiskan, selain memelopori penggunaan istilah 'Indonesia', Sin Po juga berperan dalam penghapusan penggunaan kata inlander. Saat itu, kata inlander dianggap sebagai penghinaan terhadap rakyat Indonesia.

Benny G Setiono dalam bukunya Tionghoa dalam Pusaran Politik (2001), melukiskan saat itu seluruh penerbit pers di Indonesia pun kemudian sepakat mengganti kata China dengan Tionghoa sebagai balas budi. Sikap tokoh pergerakan, seperti Soekarno, M Hatta, Soetan Sjahrir, dan Tjipto Mangoenkoesoemo pun sepakat mengganti kata China dengan Tionghoa dalam percakapan dan tulisan sehari-hari.

Redaktur Sin Po bernama Ang Yan Goa mengatakan koran Sin Po sejak awal memiliki misi untuk mengembangkan nasionalisme Tiongkok. Pada 1936, Ang Yan Goa diajak Konjen Tiongkok di Batavia untuk memberikan medali kehormatan kepada Sri Susuhunan Pakubuwono Surakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono di Yogyakarta yang dianggap berjasa melindungi toko milik warga Tionghoa dari perusuh saat tentara Jepang tiba di Jawa.

Pascakemerdekaan, ada atlet bulu tangkis Lie Ing Hoa yang kemudian dikenal dengan nama Ivana Lie. Sejak terpilih masuk timnas pada 1976, gelar demi gelar tunggal putri bertaraf internasional pun dikoleksinya. Gelar yang mengharumkan nama bangsa itu ia raih mulai turnamen perorangan hingga beregu seperti SEA Games (1979, 1983) atau Asian Games (1982).

Saya pernah berbicara panjang lebar dengan Ivana beberapa tahun lalu. Matanya berbinar-binar saat mengingat lagi prestasi-prestasi yang tinggi itu. “Yang paling menyenangkan itu kalau kita menang di laga multi-event seperti SEA Games atau Asian Games. Kita menang, naik podium, ada Indonesia Raya berkumandang, dan bendera Merah Putih dikibarkan. Itu sangat berkesan dan paling menyenangkan,” kata Ivana.

Namun, kendati peran panjang etnik Tionghoa nyaris sepanjang sejarah perjuangan bangsa, diskriminasi terhadap mereka terjadi berkali-kali. Ivana Lie bahkan pernah 5 tahun 'tak diakui' sebagai warga negara Indonesia, gara-gara orangtuanya tidak lahir di Indonesia.

Para warga etnik Tionghoa harus mempunyai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Dalam kolom KTP warga etnik Tionghoa pun ada tanda yang membedakan mereka dengan warga negara Indonesia lainnya. Mereka juga dilarang merayakan Imlek sejak era Orde Baru.

Beruntung Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut aturan yang tertuang dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tiongkok tersebut. Gus Dur mengatakan etnik Tionghoa juga bagian dari bangsa Indonesia yang harus diberikan hak dan kesempatan yang sama.

Toh, hingga kini, setelah aturan diskriminatif terhadap etnik Tionghoa dihapus, tak sepenuhnya diskriminasi terhenti. Penyebutan istilah 'pribumi' untuk warga non-Tionghoa dan 'nonpribumi' untuk etnik Tionghoa masih banyak terjadi, termasuk oleh pejabat di negeri ini. Stigma seperti itu jelas berlawanan dengan spirit pencabutan Inpres 14/1967 dan bertentangan dengan semangat zaman.

Laksamana Muda John Lie pernah mengatakan, “Orang yang pantas disebut pribumi adalah mereka yang Pancasilais, Sapta Margais, dan mencintai Tanah Air dengan jiwa raga, tanpa melihat asal muasalnya. Sebaliknya, meskipun dia lahir di sini, besar di sini, lahir dari orang-orang di sini, tapi tidak Pancasilais dan sering mempermalukan bangsa, itu tidak pantas disebut pribumi.”

Kita mesti adil dan tidak diskriminatif, bahkan sejak dalam pikiran. Karena itu, segala bentuk diskriminasi harus segera enyah dari Bumi Pertiwi. Selamat Imlek, Xin Nian Kuai Le.



Berita Lainnya
  • Jokowi dan Agenda Besar

    18/7/2025 05:00

    PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.

  • Obral Komisaris

    17/7/2025 05:00

    SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).

  • Uni Eropa, Kami Datang...

    16/7/2025 05:00

    Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.

  • Aura Dika

    15/7/2025 05:00

    TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.

  • Gibran Tuju Papua Damai

    14/7/2025 05:00

    KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.  

  • Negosiasi Vietnam

    12/7/2025 05:00

    DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.

  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  • Senja Kala Peran Manusia

    07/7/2025 05:00

    SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.

  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.