Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
PILKADA 2020 yang digelar 9 Desember bersamaan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia. Jangan sampai pilkada yang menelan biaya mahal hanya menghasilkan kepala daerah koruptor.
Sebagai pesta rakyat, pilkada memang mahal, sangat mahal. Tentu sangat mahal dari sisi kalkulasi ekonomi. Namun, inilah ongkos yang berapa pun mahalnya harus dibayar oleh bangsa ini demi tercapainya dan terpeliharanya demokrasi lokal.
Pilkada dipilih oleh rakyat pertama kali digelar pada 2005 di 226 daerah menelan biaya Rp1,3 triliun. Lima tahun kemudian, Pilkada 2010 di 244 daerah, biaya naik menjadi Rp3,54 triliun.
Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), biaya pilkada periode 2010-2014 mencapai Rp15 triliun meliputi biaya KPU, Panitia Pengawas Pemilu, kepolisian, calon kepala daerah, dan tim kampanye.
Hasil pilkada langsung sama sekali tidak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat. Rakyat tetap berkubang dalam kemiskinan sementara kepala daerah yang dipilih langsung itu hidup berfoya-foya dan terlibat korupsi. Data Kemendagri, dari 2004 hingga 2014, 318 kepala daerah terlibat korupsi.
Pada mulanya diyakini bahwa biaya yang selangit itu akibat pilkada digelar tidak secara serentak. Hampir setiap pekan ada pilkada di daerah yang berbeda. Karena itu, lewat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, didesain pilkada serentak nasional yang digelar pada November 2024.
Sebelum menuju pilkada serentak secara nasional, digelar pilkada serentak transisional dimulai 2015, 2017, 2018, dan 2020. Pilkada yang digelar pada 9 Desember ialah pilkada terakhir transisional. Tidak ada lagi pilkada sampai 2024.
Meski sudah digelar secara serentak transisional, biaya tak kunjung bisa ditekan. Pada 2015, diselenggarakan pilkada serentak di 269 daerah dengan biaya Rp7,09 triliun.
Pilkada 2017 yang digelar di 101 daerah menguras anggaran mencapai Rp5,96 triliun dan Pilkada 2018 di 171 daerah menelan biaya Rp15,16 triliun.
Semula, biaya Pilkada 2020 di 270 daerah dianggarkan Rp15,23 triliun diambil dari APBN dan APBD. Anggaran membengkak menjadi Rp20,46 triliun akibat adanya kebutuhan protokol kesehatan.
Dengan demikian, empat pilkada transisional sudah menguras anggaran sebesar Rp48,67 triliun. Angka yang sangat fantastis, sementara kepala daerah yang terlibat korupsi selama lima tahun terakhir mencapai 65 orang.
Biaya yang disebutkan itu yang resmi dikeluarkan negara. Belum dihitung biaya yang dikeluarkan pada calon kepala daerah. Mendagri Tito Karnavian menyebut, untuk mencalonkan diri sebagai bupati, seseorang bisa mengeluarkan kocek Rp30 miliar.
Setelah berlangsung selama lebih dari satu dekade, kata Syamsuddin Haris dalam buku Dinamika Politik Pilkada Serentak (2017), berbagai harapan dan ekspektasi atas pilkada secara langsung ternyata tidak terjadi dalam kenyataan.
“Pada umumnya pasangan calon yang diusung ataupun didukung dalam pilkada diputuskan secara terbatas oleh segelintir elite partai. Ironisnya, pilihan terhadap pasangan calon tidak semata-mata atas dasar integritas dan kapasitas atau kapabilitas, tetapi juga ditentukan oleh isi tas,” tulis Haris yang kini menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Isi tas itu dikuras untuk membayar mahar politik alias membeli dukungan partai. Berdasarkan survei KPK, harga setiap kursi berkisar antara Rp50 juta sampai Rp500 juta.
Dampak buruk pemilihan calon kepala daerah karena isi tas, bukan isi otak, ialah ketergantungan calon pada sumber pendanaan pihak ketiga. Kajian KPK menyebutkan 82% calon didanai sponsor.
Dukungan sponsor yang juga disebut cukong itu tentu saja tidak gratis. Kompensasinya, setelah terpilih dalam pilkada, kepala daerah memprioritaskan proyek-proyek pembangunan di daerah kepada cukong. Dampak berikutnya terjadi praktik suap dan korupsi yang melibatkan kepala daerah dan pengusaha.
Praktik suap menyebabkan kualitas pembangunan di daerah di bawah standar sehingga proyek hanya seumur jagung, cepat rusak. Dana-dana yang mestinya dikucurkan untuk membantu orang-orang miskin malah digarong oleh kepala daerah dan cukongnya.
Realitas itulah yang menyebabkan pilkada tidak selalu berkorelasi dengan kemakmuran rakyat. Ongkos demokrasi yang sangat mahal itu hanya untuk mengantarkan kepala daerah menjadi raja-raja lokal yang doyan upeti.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved