Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
AKSI teror selalu menyergap kita secara acak dan tak terduga. Ia kerap memanfaatkan ‘kesibukan’ kita terhadap hal-hal lain sehingga kita lengah terhadapnya. Saat kita yakin terorisme sudah berhasil kita tekuk, ia tiba-tiba muncul kembali untuk meledek ‘kejemawaan’ kita.
Begitu pula dengan aksi keji teroris dalam bentuk penyerangan dan pembakaran rumah tempat ibadah yang menewaskan empat orang sekeluarga di Dusun Tokelemo, Desa Lemba Tongoa, Palolo, Kabupaten Sigi, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Jumat (27/11). Polisi menduga pelaku teror merupakan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. Teror yang sangat mengagetkan, di tengah kita sedang berjibaku melawan covid-19.
Hampir saban memasuki Desember, sebagian orang merasa waswas. Bulan yang mestinya disambut sebagian kita sebagai bulan kegembiraan dan kedamaian, mesti dilalui dengan suasana menegangkan dan rasa waswas. Pemicunya ialah karena negeri ini kerap menoleransi aksi, sikap, dan pandangan intoleransi.
Ketika aksi keji terorisme kembali meledak di tengah kita, seperti biasa, pemuka politik dan masyarakat muncul melancarkan kecaman untuk kemudian tak berkutik hingga teror kembali terjadi. Mungkin kita teramat reaktif saat api sudah membesar dan ‘bom’ sudah meledak. Kita masih tenang-tenang saja saat aksi-aksi intoleransi berlangsung secara telanjang di depan mata kita.
Sikap-sikap intoleran banyak muncul dari benih yang disemai dalam konservatisme keagamaan. Terorisme itu mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Dalam konservatisme keagamaan, semangat ketuhanan tidak terlalu mengembangkan keadaban nilai-nilai kasih sayang. Padahal, spirit rahman-rahim itu menjadi kaidah emas semua agama.
Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, sama seperti orang berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi kering dan keras.
Agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perlindungan justru acap memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi. Cara pandang seperti itu kian menemukan justifikasinya saat terjadi ‘pertemuan-pertemuan’ transnasionalisme melalui dunia maya.
Maka, ruang toleransi kian menyempit digantikan klaim-klaim kebenaran sepihak. Kerelaan untuk menerima yang berbeda digerus hasrat menggebu memaksakan kebenaran tunggal versi orang per orang atau kelompok. Jika sikap itu sudah memuncak, bukan aksi intoleran lagi yang muncul, melainkan aksi kejam dan brutal terorisme.
Politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) secara berlebihan di masa lalu membuat ekspresi dan wacana perbedaan menjadi tabu. Akibatnya, sebagian besar warga hidup dalam kepompong budaya SARA yang relatif seragam dengan mengembangkan sikap hidup monolit, monokultural. Padahal, bangsa Indonesia sebagai masyarakat plural mestinya mengembangkan sikap hidup multikultural, yang mengembangkan penyerbukan silang budaya dan pergaulan lintas budaya.
Lalu, apa yang mesti negara dan kita lakukan agar aksi teror yang bersumbu pada intoleransi bisa dihentikan? Negara dan kita sudah saatnya menghambat perkembangan konservatisme agama yang menjadi bibit intoleransi. Penajaman semangat dan nilai-nilai Pancasila tidak boleh kendur, baik lewat media sosial, komunitas-komunitas, kelompok penggerak masyarakat, maupun melalui institusi pendidikan.
Jangan beri ruang bagi konservatisme untuk berkembang. Jangan menoleransi sekecil apa pun aksi-aksi intoleransi. Jangan memberikan kesempatan kepada para demagog yang dengan klaim kebenaran dan janji-janji surga menguasai panggung publik.
Negara harus hadir. Bentuk kehadiran negara dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia, salah satunya ialah memberi rasa aman bagi warganya. Kita menunggu aksi tegas negara untuk mematikan api saat api masih kecil agar tidak membesar dan membakar kita.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved