Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
SAYA dalam satu kesempatan Selasa lalu mendengar politikus PDIP Budiman Sujatmiko kira-kira mengatakan rezim otoriter di masa lalu semestinya selesai membangun infrastruktur. Budiman menunjuk Jerman di bawah Otto von Bismarck dan Korea Selatan di era Park Chunghee sukses merampungkan pembangunan infrastruktur. Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, kata Budiman, juga membangun infrastruktur, tetapi tak rampung. “Pak Jokowi yang harus menyelesaikannya,” ucap Budiman.
Perkataan Budiman mengingatkan saya pada majalah The Economist edisi 15 Oktober. Dalam ‘Banyan’, rubrik analisis tentang Asia, The Economist menyamakan Jokowi dengan Pak Harto. Jokowi, tulis The Economist, ‘Suharto with a saw’, ‘Soeharto dengan sebilah gergaji’. Majalah terkemuka itu kiranya menyetarakan Jokowi dan Pak Harto karena kedua presiden sama-sama bekerja membangun infrastruktur. The Economist juga terkesan hendak mengatakan Jokowi dan Pak Harto sama-sama otoriter.
Betul kata Budiman, Presiden Soeharto, terutama pada era 1980-an, saat booming minyak, getol membangun infrastruktur. Namun, di awal 1990-an hingga 1998, Pak Harto disibukkan dengan perkara politik, yakni mempertahankan kekuasaannya. Pembangunan infrastruktur terbengkalai.
Kepentingan ekonomi rezim Orde Baru terhadap negara lain ikut menghambat pembangunan infrastruktur Orde Baru. Saya mendapat cerita moda raya terpadu (MRT) semestinya sudah mulai dibangun sejak 1980-an. Namun, karena lobi negara produsen otomotif, MRT batal dibangun saat itu.
Celakanya, pemerintahan di era reformasi, mulai Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kurang getol melanjutkan atau merampungkan pembangunan infrastruktur. Jokowi ‘terpaksa’ melanjutkan dan merampungkannya. Jokowi mengambil risiko semisal dipersamakan dengan Presiden Soeharto yang otoriter serupa yang disimpulkan The Economist.
Hal lain yang tak selesai ialah meredam kelompok-kelompok radikal agama. Pemerintahan Orde Baru bisa dikatakan sukses meredam radikalisme agama. Namun, kelompok-kelompok ini bertumbuhan kembali di era reformasi. Era reformasi tak ubahnya conservative turn, dalam istilah Martin van Bruinessen. Kelompok-kelompok konservatif agama ini menemukan habitatnya di sepanjang 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Robin Bush menulis, ‘Tak disangsikan bahwa selama periode kepresidenan Yudhoyono, Indonesia mengalami peningkatan kadar intoleransi beragama, ditambah meningkatnya kekerasan agama dan kontraksi dalam hal hak minoritas agama. Penganut Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen menjadi korban serius dari kecenderungan semacam itu, tetapi meningkatnya intoleransi agama juga dirasakan kalangan muslim Sunni liberal dan ateis. Pemerintah pusat secara signifi kan menjadi kunci pendorong di belakang kecenderungan tersebut dan Yudhoyono, sebagai kepala pemerintahan sepanjang 2004-2014, harus bertanggung jawab…’.
Presiden Jokowi ‘terpaksa’ menyelesaikan persoalan radikalis me dan konservatisme agama yang tak diselesaikan, malah dipelihara, pendahulunya itu. Pemerintahan Presiden Jokowi, misalnya, membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Jokowi dengan nyali besar mengambil risiko, misalnya disebut menerapkan demokrasi iliberal (illiberal democracy) oleh para pengamat, kelompok prodemokrasi, serta masyarakat sipil.
Satu lembaga swadaya masyarakat secara resmi mengkritik pembubaran HTI yang mereka anggap melanggar kebebasan berkumpul atau berorganisasi. Namun, kawan saya yang aktivis di LSM itu, ketika berjumpa di satu forum, berbisik kepada saya memuji editorial harian ini yang mengapresiasi keberanian Jokowi membubarkan HTI.
Begitulah, Presiden Jokowi harus bekerja menyelesaikan hal-hal yang tidak diselesaikan oleh presiden-presiden pendahulunya. Andai saja hal-hal tersebut terselesaikan, Jokowi tinggal berkonsentrasi memajukan sumber daya manusia serta ekonomi. Karena hal-hal tersebut belum terselesaikan, Jokowi mesti menyelesaikannya sembari bekerja memajukan ekonomi dan sumber daya manusia.
Presiden Jokowi kiranya sedang membentangkan karpet merah bagi para penerusnya kelak. Presiden-presiden penerus Jokowi tinggal menikmati, merawat, meneruskannya, serta berkonsentrasi mencapai kesejahteraan rakyat. Bila kelak mereka merusak hal-hal yang dirampungkan Jokowi, rakyat akan bertanya, “Nikmat mana lagi yang kalian dustakan?”
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved