Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
APAKAH mewawancarai bangku kosong termasuk kerja jurnalistik? Begitu antara lain pertanyaan yang mengiringi wawancara Najwa Shihab dengan bangku kosong yang semestinya diduduki Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Naj wa, katanya, sudah mengundang Terawan beberapa kali, tetapi yang bersangkutan tak kunjung hadir untuk diwawancarai soal pandemi covid-19 di program Mata Najwa.
Sebagian orang menyebut Najwa melakukan wawancara imajiner. Najwa justru melakukan kerja jurnalistik bila dikatakan mewawancarai bangku kosong ialah wawancara imajiner.
Dalam dunia jurnalisme, meski tak semua sepakat, dikenal istilah wawancara imajiner. Dalam wawancara imajiner yang ‘diwawancarai’ biasanya tokoh yang sudah meninggal, yang tak mungkin dihadirkan. Oleh karena itu, pewawancara harus paham betul isi kepala alias pikiran sang tokoh.
Christianto Wibisono punya rubrik wawancara imajiner dengan Bung Karno di tabloid Detak pada 1990-an. Christianto pastilah menyelami pikiran-pikiran Bung Karno. Dia menuliskan hasil wawancara dengan Bung Karno dalam bentuk tanya jawab. Christianto bertanya, Bung Karno menjawab. Sebetulnya Christianto yang bertanya sekalian menjawab pertanyaannya itu. Oleh karena itu, wawancara imajiner sesungguhnya masuk kategori opini, bukan reportase.
Najwa bermaksud mewawancarai tokoh sehat walafi at yang masih sangat mungkin dihadirkan untuk diwawancarai. Bila Terawan tidak hadir, Najwa dan tim perlu lebih telaten meyakinkan Terawan supaya mau hadir. Siapa tahu besok-besok, Terawan bersedia hadir.
Betul pejabat publik harus berbicara kepada publik sebagai pertanggungjawaban. Namun, pejabat publik berbicara kepada publik tidak harus di program Mata Najwa. Wawancara Najwa dengan bangku kosong yang semestinya ditempati Terawan memberi kesan Terawan wajib hukumnya berbicara di Mata Najwa.
Ketidakhadiran narasumber kiranya tak elok menjadi alasan pewawancara mewawancarai bangku kosong. Kelak dengan alasan narasumber menolak diwawancarai, wartawan tak mengapa mewawancarai kursi kosong serupa yang dilakukan Najwa. Wartawan, dengan alasan Najwa pernah melakukannya, kelak boleh mewawancarai kursi kosong. Wartawan meniru Najwa.
Najwa sendiri meniru pewawancara lain yang mewawancarai kursi kosong. Pembawa acara televisi di Inggris, Kay Burley, mendapati narasumber yang sudah dijadwalkan batal hadir untuk diwawancara. Narasumbernya semestinya Ketua Partai Konservatif Inggris, James Cleverly. Burley lantas memuntahkan rentetan pertanyaan ke kursi kosong yang seharusnya menjadi tempat duduk Cleverly.
Najwa boleh jadi mewawancarai kursi kosong yang sedianya diduduki Terawan karena sudah ada ‘yurisprudensi’, preseden, atau contoh perkara, yakni wawancara Burley dengan kursi kosong yang semestinya diduduki Cleverly. Apakah kelakuan orang di masa lalu tiba-tiba bisa menjadi pembenar orang lain melakukan hal serupa?
Najwa menghamburkan berondongan pertanyaan kepada kursi kosong yang seharusnya diduduki Terawan. Najwa tidak ber tingkah seolah dia Terawan yang menjawab rentetan pertanyaan itu. Ini tidak seperti Christianto Wibisono yang seolah menjadi Bung Karno dengan jawaban-jawaban imajiner atas berbagai pertanyaan imajiner.
Dalam wawancara jurnalistik, baik imajiner maupun sungguhan, pewawancara mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan jawaban. Wartawan membutuhkan jawaban narasumber. Narasumber yang semestinya lebih banyak berbicara, bukan wartawan. Wartawan mendengar dan menyimak jawaban narasumber. Wawancara pada hakikatnya the art of listening, seni mendengar.
Ketika mewawancarai kursi kosong, Najwa tidak mendapatkan jawaban narasumber. Najwa tidak mungkin mendengar jawaban narasumber. Malah cuma Najwa yang berbicara.
Dua syarat, yakni yang diwawancarai tokoh yang sudah wafat dan sang tokoh menjawab pertanyaan, tidak terpenuhi dalam ade gan Najwa mewawancarai kursi kosong yang sedianya diduduki Terawan. Itu bukan wawancara imajiner, juga bukan wawancara sungguhan. Itu bukan kerja jurnalistik.
Kalau bukan kerja jurnalistik, lantas apa? Di medsos, ada yang menyebut perundungan siber. Ada yang menyebut persekusi. Ada pula yang menyebut monolog. Pun, ada yang menyebut drama, teater. Ada lagi yang menyebut itu peradilan in absentia.
Orang tentu bebas berpendapat. Saya mau setop pada pendapat Najwa tidak sedang menjalankan pekerjaan jurnalistik ketika dia mewawancarai kursi kosong yang ia bayangkan diduduki Menkes Terawan.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved