Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Infodemi

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group
11/3/2020 05:10
Infodemi
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

ADA dua hal yang pantang dihardik di dunia ini. Nomor satu anak yatim. Nomor dua wartawan atau media. Celakalah bila ada yang nekat menghardik keduanya.

Akan tetapi, cerita berubah ketika merebaknya virus korona makin bikin resah. Tinggal anak yatim yang tetap tak boleh dihardik. Wartawan atau media malah menjadi sasaran hardik. Saya di forum ini mungkin juga sedang menghardik media, menghardik diri sendiri sebagai orang media, meski saya anak yatim yang sebetulnya pantang dihardik.

World Health Organization, WHO, menyebut selain penyebaran ke seluruh dunia atau pandemi virus korona, terjadi pula infodemi. Infodemi ialah penyebaran berita atau informasi. Infodemi menyebar lebih cepat daripada pandemi korona.

Berita-berita yang ditayangkan media dikatakan memicu kepanikan dan kepanikan lebih berbahaya daripada pandemi virus korona. Itu artinya pemberitaan media lebih berbahaya jika dibandingkan virus korona.

Tentu saja tidak semua berita dianggap berbahaya. Di Indonesia, berita yang dianggap membahayakan privasi dan memantik kepanikan ialah yang menyebutkan identitas dua orang pertama yang dinyatakan positif terjangkit virus korona.

Bagaimana tak panik bila rumah kedua pasien korona itu diberi garis polisi? Sejak kapan terjangkit penyakit jadi perbuatan kriminal? Bagaimana tak panik bila satu narasumber di satu stasiun televisi mengatakan tukang sayur pun enggan masuk dan berkeliling di kompleks perumahan tempat kedua pasien tinggal? Apa informasi ini tidak bikin warga perumahan menyerbu pasar atau swalayan memborong kebutuhan pokok alias panic buying?

Pun, berita stasiun televisi yang menyebut guru di satu sekolah swasta terjangkit korona dipandang membahayakan kredibilitas sekolah, meski stasiun televisi itu kemudian memberi hak jawab kepada sekolah tersebut. Pun, berita stasiun televisi yang sama yang reporternya melaporkan berita dengan memakai masker seolah dia melaporkan berita dari medan perang, dianggap memantik kepanikan.

Bukan media namanya kalau tidak bisa 'menghardik' balik. Hardikan balik intinya hendak mengatakan bahwa kepanikan muncul bukan karena pemberitaan media, melainkan karena ketidakterusterangan pemerintah ihwal penanganan pandemi korona. Media kok dilawan?

Hardikan kepada media tidak terlepas dari pergeseran dalam dunia pemberitaan atau jurnalisme. Dulu berlaku adagium fact is the king. Berita ialah fakta, kejadian, peristiwa. Fakta, kejadian, atau peristiwa secara metafisis dianggap sebagai 'penyelenggaraan ilahi' yang mesti dilaporkan media apa adanya, meski kadang menyakitkan.

Akan tetapi, di era digital kini, ketika media daring bermunculan, berlaku adagium content is the king. Konten segalanya dan segalanya konten. Oleh karena itu, media berusaha menampilkan konten menarik dengan berbagai cara. Dibikinlah judul yang menarik supaya orang mengklik, meski orang kemudian mengumpat ternyata judul tak sesuai dengan isi. Dicarilah narasumber yang omongannya menarik, meski sebenarnya bombastis, sensasional, juga konyol.

Bukankah bombastis, sensional, juga konyol, ketika satu media daring mengutip pernyataan orang yang menyebut dirinya pengamat politik bahwa korona bikin Presiden Jokowi merana, jatuh dari kursi kekuasaan tahun ini juga? Sejak kapan virus bisa memakzulkan presiden? Celakanya, tak sedikit orang yang doyan membaca dan percaya dengan berita-berita model begini.

Fenomena 'konten segalanya dan segalanya konten' oleh sejarahwan Daniel J Boorstin disebut pseudo-event. Dalam dunia pseudo-event, pertanyaan penting jurnalisme bukanlah 'apakah sesuatu itu nyata', melainkan 'apakah sesuatu menarik diberitakan'.

Jurnalisme pseudo-event punya formula bahwa fantasi lebih riil daripada realitas, sensasi lebih seksi daripada yang asli, imaji lebih bermartabat daripada kenyataan, yang bombastis lebih eksis daripada yang realistis. Walhasil kebenaran tidak mesti kenyataan, peristiwa, atau fakta. Kebenaran lebih sering berupa kengerian, kepanikan, atau lelucon. Serupa lelucon, "Kebenaran ialah yang patut ditertawakan," kata pemikir posmodernisme Baudrillard.

Selamat datang di rezim click bait. Di tengah infodemi, audiens dihadapkan pada kenyataan so many stories, so little time. Media berlomba beritanya diklik supaya tetap eksis. Celakanya, media kepingin eksis, tetapi menampilkan yang bombastis dan tak eksis. Ini yang disebut ingin eksis dengan cara-cara tak etis.

Jurnalisme, bagaimanapun, mesti melayani publik dengan informasi benar yang membuat mereka memahami dunia. Dunia boleh berubah, teknologi boleh berganti, tetapi satu hal yang mesti, yakni jurnalisme tetap menyampaikan kebenaran. Hanya dengan menyampaikan kebenaran, jurnalisme tetap eksis di dunia yang terus berubah.



Berita Lainnya
  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik