Headline
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
'DALAM setiap bencana kita membutuhkan orang yang disalahkan selain Tuhan' tulis jurnalis Eric Weiner dalam buku The Geography of Bliss.
Eric benar. Meski orang beragama percaya bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk bencana, terjadi atas kehendak-Nya, mana berani kita menyalahkan Tuhan. Bisa didemo bertubi-tubi oleh para pembela Tuhan, meski, kata Gus Dur, kok repot-repot membela Tuhan.
Virus korona yang hingga kemarin menewaskan 400 orang lebih itu termasuk bencana. Dalam istilah Presiden Jokowi, virus korona bencana nonalam. Virus korona boleh disebut bencana kesehatan.
Dalam bencana virus korona yang berjangkit di Wuhan, Tiongkok, kita pun membutuhkan orang untuk disalahkan selain Tuhan. Orang untuk disalahkan selain Tuhan dalam pandemi virus Korona ialah orang Tiongkok.
Seseorang berkomentar di media sosial bahwa virus korona merupakan hukuman dari langit buat orang-orang Tiongkok atas kesalahan pemerintah Tiongkok memperlakukan muslim Uighur. Yang mengatakan ini jelas menggunakan ilmu langitan atau ilmu hukum karma.
Istri seorang penyanyi lagu-lagu religi mengunggah soal korona di akun Instagram-nya. Dalam unggahannya ia menarik garis merah pada sejumlah kata, yakni qorona, khalaqo, zamana, dan kadzaba dari buku Iqra. Bila diartikan, keempat kata itu secara berturut-turut bermakna 'korona tercipta pada zaman penuh dusta'. Dia menambahi unggahannya dengan komentar yang maknanya kira-kira 'korona merupakan hukuman Tuhan'.
Iqra bukan Alquran, melainkan buku pelajaran membaca Alquran. Iqra serupa buku pelajaran membaca bahasa Indonesia yang saya pelajari di kelas satu SD dulu yang di dalamnya ada kalimat 'ini Budi', 'ini ibu Budi', 'ini bapak Budi'. Sang istri penyanyi lagu-lagu religi itu rupanya menggunakan ilmu 'pokoknya cocok' alias 'cocokologi'.
Orang-orang Tiongkok pun mati bergelimpangan karena terjangkit virus korona yang diturunkan Tuhan, seperti dalam foto yang diunggah di media sosial oleh seorang yang katanya pendakwah. Belakangan terungkap itu bukan foto korban virus korona, melainkan aksi teatrikal untuk mengenang 528 korban pembantaian Nazi di Jerman.
Tiga unggahan di media sosial itu gampangnya disebut hoaks atau sekurang-kurangnya disinformasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga Senin, 3 Februari 2020, menemukan 54 hoaks yang tersebar melalui media sosial.
Hoaks atau disinformasi ialah informasi sesat. Celakanya, serupa di ketiga unggahan tadi, Tuhan terbawa-bawa dalam sebagian informasi sesat itu. Mereka, para pengunggah itu, membawa-bawa Tuhan, mengatasnamakan Tuhan, dalam informasi sesat yang mereka sebarkan itu. Bayangkan, mereka takut menyalahkan Tuhan, tetapi nekat membawa-bawa Tuhan dalam informasi sesat tentang bencana virus korona. Lalu, siapakah yang lebih pantas disebut penista?
Menyalahkan orang Tiongkok sembari membawa-bawa Tuhan serupa menyoraki, mensyukuri, penderitaan dan kesengsaraan orang lain. Orang-orang Tiongkok atau siapa pun yang terjangkit virus korona sesungguhnya korban bencana. Mereka yang menyalahkan korban serupa menghakimi korban sebagai pelaku.
Di mana letak rasa kemanusiaan mereka? Di mana empati mereka? Tidak ada di mana-mana karena yang ada ialah kebencian, dan virus kebencian lebih berbahaya daripada virus korona. Disebut lebih berbahaya karena, bila virus korona menyerang tubuh, virus kebencian akan menyerang akal sehat dan kewarasan kita.
Bila dikatakan virus korona diturunkan Tuhan untuk menghukum orang-orang Tiongkok, bolehkah kita mengatakan orang-orang penyebar hoaks dengan membawa-bawa nama-Nya itu diturunkan Tuhan untuk menguji kesabaran dan kewarasan kita?
Setoplah menyebut virus korona hukuman Tuhan karena Tuhan maha pengasih dan maha penyayang. Berhentilah menyebar informasi sesat, apalagi yang membawa-bawa Tuhan segala karena Tuhan maha mencerahkan, bukan maha menyesatkan.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved