Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Nobel Ekonomi

Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group
18/10/2019 05:30
Nobel Ekonomi
Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group(MI)

SEKITAR 2005, saya diminta mendampingi pendiri Kompas Jakob Oetama untuk bertemu Prof Widjojo Nitisastro di kantornya. Meski sudah tidak menduduki jabatan apa pun, Prof Widjojo masih rutin berkantor di Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng. Pak Jakob berharap Prof Widjojo mau menulis buku tentang apa yang pernah ia lakukan untuk merancang pembangunan ekonomi Indonesia.

Prof Widjojo dengan rendah hati mengatakan tidak banyak yang ia sudah kerjakan untuk Indonesia. Ia malu kalau harus menulis tentang kiprahnya selama menjabat menteri ekonomi padahal tidak banyak keberhasilan yang sudah dicapai. "Nanti saya pikir-pikir dulu, ya Pak Jakob," demikian jawaban Prof Widjojo dengan suara lembut dan senyumnya yang khas.

Meski begitu, Prof Widjojo tetap bersemangat ketika berdiskusi soal ekonomi pembangunan yang merupakan bidang keahliannya. Ia dengan runut menjawab pertanyaan Pak Jakob tentang langkah kebijakan yang dulu diambil ketika Indonesia mendapatkan durian runtuh akibat bonanza minyak pada 1974.

Menurut Prof Widjojo, kenaikan harga minyak dunia sampai 461% membuat Indonesia mendapatkan banyak devisa. Presiden Soeharto ketika itu meminta agar penerimaan negara yang meningkat itu dipakai untuk membangun infrastruktur mulai dari jalan hingga infrastruktur dasar seperti sekolah dan pusat kesehatan masyarakat. Itulah yang kemudian dikenal dengan SD inpres dan puskesmas.

Prof Widjojo ingat kemudian ia menyampaikan dua pilihan kepada Presiden Soeharto. Sekolah dan puskesmas yang hendak dibangun itu sebaiknya jumlahnya terbatas, tetapi dengan kualitas bangunan yang baik, ataukah membangun dengan jumlah yang banyak, tetapi berkualitas lebih rendah. Presiden Soeharto memilih yang kedua karena ia ingin agar jumlah sekolah dan puskesmas itu bisa tersebar merata di seluruh Indonesia.

Hanya saja Presiden Soeharto menambahkan agar pemerintah menganggarkan pembangunan kembali sekolah dan puskesmas itu setiap 10 tahun. Sebagai menteri perencanaan pembangunan nasional ketika itu, Prof Widjojo kemudian selalu melakukan alokasi anggaran untuk pembangunan kembali SD inpres dan puskesmas. Mulai 1974, kemudian 1984, selanjutnya pada 1994 pemerintah menyiapkan anggaran khusus untuk pembangunan keduanya.

Ketika reformasi terjadi pada 1998, pemerintahan baru sepertinya lupa untuk mengalokasikan anggaran bagi pembangunan sekolah dan puskesmas. Menurut Prof Widjojo, ketika kemudian banyak SD inpres dan puskesmas rusak dan bahkan ambruk, yang salah bukan bangunannya, melainkan memang karena anggaran perawatan dan pembangunan kembali yang mungkin terlupakan.

Pertemuan itu menarik untuk diangkat kembali karena ada pengumuman tentang pemenang Nobel Ekonomi 2019. Yang terpilih ialah tiga ahli ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology, Boston, AS, yaitu Esther Duflo, Abhijit V Banerjee, dan Michael Kremer.

Penghargaan itu diberikan atas karya mereka untuk meneliti dampak pembangunan infrastruktur terhadap perbaikan kualitas manusia dan pengurangan angka kemiskinan. Yang menarik, salah satu subjek yang diteliti Duflo ialah korelasi antara kebijakan pembangunan masif SD inpres di Indonesia pada periode 1973-1978 dan dampaknya terhadap kualitas kehidupan manusia Indonesia pada 1995.

Kebijakan pemerintah Indonesia mengalokasikan hampir 15% anggaran pendapatan dan belanja untuk pembangunan SD inpres dinilai sebagai kebijakan sangat tepat. Pembangunan lebih dari 61.000 SD inpres dalam periode lima tahun itu merupakan pembangunan infrastruktur dasar terbesar yang pernah ada di dunia. Hampir dua dekade kemudian, Indonesia menikmati hasil investasi manusia itu yang return-nya 6,4% sampai 9,1%.

Ketekunan Duflo dan rekan-rekannya mencermati perubahan sosial dari sebuah kebijakan ekonomi itu menghasilkan teori ekonomi baru. Apalagi kemudian mereka membandingkan dengan kebijakan ekonomi di Afrika Selatan dan India yang hasilnya berbeda ketika pendekatan kebijakan ekonominya berbeda.

Penghargaan Nobel ini seharusnya membuka wawasan para ilmuwan kita. Sebagai ilmuwan, fenomena yang terjadi seharusnya menimbulkan rasa keingintahuan. Bukan dilihat siapa yang melakukan dan kemudian dijadikan persoalan personal.

Prof Widjojo Nitisastro selama ini oleh sebagian kalangan lebih dilihat sebagai pribadi kontroversial. Yang kita lekatkan kepada guru besar ekonomi ini lebih sebagai 'mafia Berkeley', sekadar dianggap sebagai kaki tangannya Washington. Bukan dilihat dari karya besar apa yang dilahirkannya.

Orang seperti Pak Jakob Oetama melihat Prof Widjojo sebagai ilmuwan luar biasa. Ia bukan sekadar pemikir, melainkan juga eksekutor yang andal. Kebijakan yang diambil tidak hanya bagus ditulis di atas kertas, tetapi juga diikuti dari dekat pelaksanaannya agar sesuai harapan ketika kebijakan itu dirumuskan.

Karya besar Prof Widjojo itu ternyata menjadi ilmu yang menghasilkan Nobel. Semoga ke depan lahir anak-anak muda seperti Prof Widjojo dan bahkan akan lahir ilmuwan besar yang tidak hanya pandai mengkritik, tetapi juga mampu melahirkan teori ekonomi baru. Hanya dengan itulah kita bisa melahirkan generasi bertaraf Nobel.
 



Berita Lainnya
  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  • Senja Kala Peran Manusia

    07/7/2025 05:00

    SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.

  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.