Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Kearifan Lokal

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
24/9/2019 05:10
Kearifan Lokal
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group(Dok.MI/Ebet)

PENERBANGAN dari Bangkok, Thailand, menuju Siem Reap, Kamboja, dilakukan sore hari. Perempuan kulit hitam asal Amerika Serikat yang duduk di sebelah saya tertarik oleh warna kuning api yang ada di darat. Dia pun bertanya, "Apakah itu nyala api? Itu ada kebakaran?"

Saya menjawab, "Iya, itu adalah api." Kebiasaan masyarakat di wilayah Asia Tenggara, mereka selalu membakar sampah hasil panenan mereka. Membakar merupakan hal yang dianggap paling mudah untuk membersihkan lahan agar mereka segera dapat menanaminya kembali.

Masyarakat Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia masih mengenal kebiasaan membakar itu. Bahkan, kebiasaan itu dikategorikan sebagai kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat.

Di Indonesia, membakar lahan malah dimasukkan ke peraturan daerah, peraturan menteri lingkungan hidup, dan bahkan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009. Di dalam peraturan yang ada, setiap keluarga diperbolehkan untuk membakar lahan sampai 2 hektare.

Memang, dalam peraturan itu dibuat persyaratan tentang pembakaran lahan agar tidak menimbulkan kebakaran hutan. Akan tetapi, menjaga lompatan api apalagi di musim kemarau yang sangat kering tidaklah mudah.

Australia dan Amerika Serikat menetapkan aturan yang ketat untuk melarang pembakaran atau membuang puntung rokok. Meski demikian, kedua negara itu tetap tidak bisa menghindarkan diri dari kebakaran hutan karena percikan api bisa juga terjadi akibat hubungan arus pendek atau petir yang menyambar.

Atas dasar itulah, pantas jika kita segera meninjau ulang aturan tentang diperbolehkannya pembakaran lahan. Kabut asap yang sekarang tengah melanda Sumatra dan Kalimantan merupakan dampak dari pembakaran lahan. Sudah banyak anggota masyarakat, terutama bayi, yang menjadi korban.

Lagi-lagi kita pun menjadi sorotan negara tetangga terutama Singapura dan Malaysia. Mereka merasakan langsung dampak dari kebakaran lahan yang terjadi di wilayah Sumatra, terutama Riau, dengan buruknya kualitas udara.

Sudah lama kita mengingatkan pemerintah dan anggota legislatif untuk meninjau ulang dan merevisi aturan yang memperbolehkan pembakaran lahan tersebut. Bangsa ini harus naik kelas dan tidak bisa membenarkan lagi bahwa pembakaran lahan itu bagian dari kearifan lokal.

Pelarangan total terhadap pembakaran lahan akan mempermudah penanganan bencana asap. Sekarang ini kasus bencana asap lebih dimanfaatkan sebagai isu politik. Bahkan, kita terus berputar-putar tentang siapa yang melakukan pembakaran.

Sekarang ini paling mudah menyalahkan para pengusaha karena mereka dianggap lapar lahan. Padahal, para pengusaha sendiri mengatakan mereka tidak mau lagi menggunakan lahan yang tidak jelas asal-usulnya, apalagi yang bekas lahan terbakar. Sebaliknya, para petani mengaku diiming-imingi keuntungan untuk membakar lahan.

Akan lebih mudah kalau pembakaran lahan dinyatakan sebagai tindakan terlarang. Siapa pun yang melakukan pembakaran, dialah yang harus bertanggung jawab. Dengan begitu, tidak bisa lagi ada sikap saling menyalahkan dan akhirnya aparat menghukum saja pihak yang dianggap paling lemah untuk disalahkan.

Cara seperti itu tidak pernah akan bisa menyelesaikan masalah karena kemudian orang akan tetap melakukan pembakaran lahan. Orang tidak pernah merasa jera karena pasti yang memikul tanggung jawab ialah pengusaha. Masyarakat sendiri tetap melakukan pembakaran lahan atas nama kearifan lokal tadi.

Kita harus segera memperbaiki diri karena dunia semakin peduli kepada lingkungan. Minggu lalu, unjuk rasa dilakukan kaum muda di seluruh dunia untuk mendesak dilakukannya penyelamatan planet tempat kita tinggal. Tanpa ada kesungguhan dari semua pihak, kehidupan umat manusia akan terancam.

Pembakaran lahan tidak hanya mengganggu pernapasan, tetapi juga membuat dunia semakin panas karena asap kabut yang ditimbulkan menyebabkan pantulan panas dari bumi tidak bisa lepas ke udara, dan malah dipantulkan lagi ke bumi. Peningkatan panas 1 derajat Celsius saja di bumi akan menyebabkan berkurangnya lapisan es di kutub dan otomatis membuat tinggi air laut semakin meningkat.

Upaya penyelamatan bumi, sekali lagi, tidak bisa hanya dengan saling menyalahkan. Seperti anak-anak muda dunia, mereka tidak menyalahkan satu-dua pemimpin negara, tetapi memberikan pemikiran untuk menyelesaikan masalah yang penting ini. Kita pun jangan sekadar berteriak-teriak untuk mencari kambing hitam dari kebakaran lahan, tetapi harus mencari jalan yang solutif agar bencana asap tidak kembali terjadi. Salah satu yang mendesak tadi, segera revisi peraturan tentang diperbolehkannya pembakaran lahan oleh masyarakat.



Berita Lainnya
  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik