Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
AKHIR tahun lalu, saya berkesempatan ikutan uji coba moda raya terpadu atau MRT bersama Presiden Jokowi dan Gubernur Anies Baswedan. Di perjalanan dari Stasiun Bundaran HI ke Stasiun Lebak Bulus, Presiden menyinggung bahwa MRT kelak membentuk peradaban kita. “MRT akan membuat kita tertib, menciptakan budaya antre, dan masyarakat pejalan kaki,” kata Presiden.
Begitu MRT beroperasi, kita menyaksikan ketertiban dan kedisiplinan yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Orang tertib antre ketika memasuki stasiun dan kereta. Orang disiplin dan patuh enggan makan minum di kereta. Kita seperti sedang berada di negara lain yang berperadaban maju.
Peradaban maju lebih dulu tercipta di kereta rel listrik Jabodetabek. Jauh sebelum itu, KRL kita kacau. Jendela bolong atau pintu rusak begitu adanya. Orang naik di atap gerbong biasa saja. Penumpang naik kereta tanpa bayar dimaklumi. Bila kecopetan, itu sedang sial saja. Itu semua menjadi gambaran bobroknya mental kita.
Kini itu semua tinggal sejarah. Tak ada lagi penumpang naik di atap gerbong. Malu orang naik kereta tanpa membayar. Copet cari mati namanya bila masih nekat beroperasi di kereta saat ini.
Dulu berbagai cara kita lakukan untuk mereparasi mental kita, mulai gerakan disiplin nasional di era Pak Harto sampai revolusi mental di masa Presiden Jokowi. Semuanya bisa dibilang gagal. Kita jadi tak yakin bahwa kita bisa berubah.
Kini berangsur tapi pasti, mental kita berubah. Berawal di KRL lalu MRT, kita mulai bermental tertib, berbudaya antre, serta berkultur disiplin. Ternyata kita bisa. Kok, bisa?
MRT ialah infrastruktur. Infrastruktur bagian struktur. Itu artinya struktur membentuk kultur, kebiasaan.
Ada Ignasius Jonan dalam struktur kepengurusan Kereta Api Indonesia. Jonan-lah yang membenahi kereta. Jonan ialah struktur. Terbukti lagi, struktur mengubah kultur.
Jonan memperbaiki infrastruktur KRL. Tak ada lagi jendela bolong atau pintu macet di kereta. Semua gerbong berpendingin udara. Untuk apa orang naik di atap gerbong dengan risiko masuk angin bahkan mati terjatuh bila naik di dalamnya sejuk, aman, dan nyaman. Malu juga bila naik kereta senyaman itu tanpa membayar. Ternyata struktur membentuk kultur.
Lewat sistem pembayaran yang dibuat simpel dengan teknologi, tak mungkin orang berkereta tanpa membayar. Sistem ialah struktur. Sekali lagi, struktur membentuk kultur.
Dibuat aturan dilarang makan-minum di KRL, juga di MRT. Makan-minum pasti menyisakan sampah di kereta. Orang disiplin enggan makan-minum di KRL dan MRT lantaran tak mau melanggar aturan. Ini serupa orang Indonesia piknik ke Singapura, tak berani buang sampah atau ludah sembarangan karena aturan ketat melarang. Aturan ialah struktur. Lagi, struktur membentuk kultur.
Struktur bahkan membuat negara maju. Bukan kultur yang bikin negara maju. Begitu kesimpulan Robinson dan Acemoglu dalam buku Why Nations Fail.
Kedua pakar sampai pada kesimpulan itu setelah mengamati daerah bernama Nogales. Sebagian Nogales berada di Meksiko, sebagian lagi menjadi bagian Amerika. Nogales Amerika lebih maju daripada Nogales Meksiko meski kultur dan kondisi geografis mereka serupa. Menurut Robinson dan Acemoglu, itu karena institusionalisasi, strukturisasi, atau pelembagaan di Amerika lebih mapan jika dibandingkan dengan di Meksiko.
Maka, sudah tepat bila Presiden Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur. Lupakan revolusi mental. Pembangunan infrastruktrur besar-besaran berarti melakukan revolusi mental.
Teruslah bangun infrastruktur. Ciptakan sistem. Susunlah aturan. Angkatlah pejabat yang kira-kira mau dan mampu membangun struktur.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved