Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SAYA ingin memulai cerita negara besar dari sini. Dari situasi yang tak biasa. Setelah beberapa hari menjadi presiden, atas saran sang penasihat, Soekarno perlu mengangkat ajudan. Ia pun dengan cepat mengangkat seorang pejuang sipil, yang bukan siapa-siapa, dengan pangkat letnan.
Satu jam kemudian, sang panasihat menghadap lagi. Ratu Juliana dari Belanda, negeri imperialis itu, katanya, yang hanya memimpin 10 juta manusia, punya ajudan berpangkat kolonel. Indonesia tak boleh kalah. Tak boleh rendah.
Sebagai negara besar, presiden yang memimpin 70 juta penduduk harus punya ajudan berpangkat lebih tinggi. Satu setengah jam kemudian sang letnan naik pangkat menjadi mayor. Zaman tak normal musykil mengatur negara dengan cara lurus. Bukankah lazim waktu itu untuk memenuhi aneka kebutuhan dalam negeri juga dengan cara menyelundup?
Sebagai negara besar, di masa awal kemerdekaan, diplomasi jadi amat penting di tengah ancaman Belanda yang bernafsu kembali. Sementara sebagian masyarakat yang 'mabuk kemerdekaan' juga mulai menggugat. Kenapa setelah merdeka kehidupan rakyat tak lantas menjadi nikmat?
Benarlah Bung Karno, "Kemerdekaan tak menyudahi soal-soal. Kemerdekaan malah mendatangkan soal-soal baru." Soal-soal yang harus dipecahkan. Kemerdekaan memang menyediakan jalan untuk itu.
Dunia internasional juga harus terus diyakinkan bahwa Indonesia ialah negeri merdeka. Negeri muda ini butuh banyak diplomat yang harus tampil gagah. Para 'diplomat dadakan' harus diangkat. Mereka harus banyak siasat. Kerap mereka berunding dengan pakaian pinjaman.
Duta Besar Indonesia untuk Filipina harus meminjam jas tukang cukur, milik si empunya rumah yang dikontrak sang dubes. Ia harus puasa beberapa hari dan hanya memakan satu-dua buah apel. Fulus mereka tak cukup untuk membeli makanan utama. Bung Karno menuturkan itu semua kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (edisi revisi, 2011).
Kini frasa 'negara besar' amat kerap dipidatokan Presiden Jokowi. Besar secara wilayah, besar penduduk (kini 260 juta jiwa), besar keragaman etnik, budaya, dan bahasa. Besar potensi ekonominya. Menurut Standard Chartered Plc, pada 2030 Indonesia dinubuat menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Namun, angkatan kerja masih didominasi lulusan SD dan SMP.
Pascareformasi, Jokowi presiden Indonesia yang paling rajin mempromosikan 'negara besar' ini. Salah satunya ia kerap mengenakan pakaian tradisional dari berbagai daerah. Presiden bahkan memakai busana Bali ketika melawat ke Malaysia baru-baru ini. Ia nyata memperlihatkan betapa kaya tradisi kita.
Indonesia, seperti ditulis sejarawan Prancis Denys Lombard, selama dua milenium menjadi persilangan budaya. Di negeri ini peradaban-peradaban besar India, Islam, Tiongkok, dan Eropa saling bertemu, diterima, diolah, dikembangkan, dan diperbarui. Penelitian Lombard dibukukan berjilid-jilid berjudul Nusa Jawa Silang Budaya (cetakan kelima, 2018).
Negara besar butuh solusi besar yang lahir dari para pemimpin bervisi besar. Para wakil rakyat dan presiden-wakil presiden terpilih Pemilu 2019 haruslah menyadari mereka bekerja untuk kejayaan bangsa. Sumpah mereka ketika dilantik untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan diri sendiri dan golongannya.
Pertanyaan yang kini ramai, akan punya susunan kabinet seperti apa pemerintahan Jokowi yang kedua? Jawabnya mudah. Mereka harus merealisasikan Visi Indonesia yang telah dipidatokan presiden terpilih. Lima hal penting dalam visi besar itu ialah melanjutkan pembangunan infrastruktur, membuka investasi seluas-luasnya, fokus membelanjakan APBN, reformasi birokrasi, dan membangun sumber daya manusia berkualitas.
Para pembantu presiden harus cakap akan hal teknis dan paham secara politis dalam melaksanakan visi besar itu. Yang tak boleh diabaikan, mereka harus punya kecintaan kepada Republik ini. Terlalu sayang negeri besar ini diisi para pemimpin berjiwa kerdil. Sementara banyak 'negara kecil' telah melakukan perubahan besar. Dirgahayu Indonesia.
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved