Headline
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
INI perihal demokrasi kita hari ini. Baik yang bersekutu dalam satu perahu maupun yang berseteru di seberang perahu, keduanya tak punya rasa malu. Keduanya punya persoalan serius dalam soal kepantasan bertakhta; dalam perihal beretika.
Yang bersekutu, berkoalisi dengan partai berkuasa, secara terbuka berebut kursi menteri. Tak malu menyebut jumlah yang seharusnya menurut mereka. Bahkan, sebuah partai minta jatah menteri dibedakan dengan ormas. Meskipun kita tahu, partai dan ormas itu berkelindan atawa berjalinan dalam soal relasi. Amat dekat. Seperti gula dan niranya.
Benar dalam politik tak ada makan siang gratis, there is no free lunch. Namun, mereka yang ugal-ugalan berebut kursi menteri, sama artinya mem-faith accompli sang empunya hak prerogratif itu. Presiden dibuat tak enak hati dengan sodoran-sodoran serupa itu.
Bukankah omongan mereka hendak memperkuat sistem presidensial supaya roda pemerintahan efektif? Efetivitas pemerintahan tak cuma banyaknya dukungan di parlemen, tapi juga karena para menterinya cakap dan punya dedikasi. Mestinya, biarlah presiden memilih yang terbaik.
Relawan juga punya tabiat yang tak jauh. Agaknya banyak di antara mereka sudah memantas-mantas diri di mana akan 'berkursi'. Komisaris BUMN atau yang lain? Jika tak diberi kursi, bisa jadi mereka ngamuk. Mereka mendatangi Istana, mencak-mencak, seraya pamer jasa. Seperti pernah terjadi pasca-Pemilu 2014. Relawan yang ikhlas berbuat tanpa pamrih, tapi berebut kursi tanpa risi.
Sementara itu, para seteru (yang kalah pemilu), melanjutkan perang dengan terus mendeligimitasi yang menang. Sebagian cerdik pandai yang terus memaki Mahkamah Konstitusi (MK), ialah para perapuh demokrasi juga. Mereka tak mafhum aturan main, bahwa putusan MK harus jadi akhir diskusi diganti jadi implementasi. Final dan mengikat. Begitulah amanat tersurat dalam konstitusi.
Termasuk perapuh ialah barisan sakit hati yang semula satu perahu. Mereka sebelumnya para anggota kabinet Jokowi. Setelah di-reshuffle, cepat berubah tempat jadi 'oposisi'. Mereka di seberang dan menantang. Mereka tak peduli jejak digital: apa yang mereka katakan dahulu dan kini.
Mereka sebelumnya fasih bicara hak prerogratif presiden. Namun, ketika kursi menteri diambill pemiliknya, mereka ngamuk sejadi-jadinya. Ujung-ujungnya kursi. Takhta. Bukan keikhlasan membangun negeri. Demi bangsa dan NKRI? Hanya slogan hampa makna!
Itulah paras demokrasi kita hari ini. Itulah tabiat elite dalam mirat, dalam cermin demokrasi kita. Kelasnya masih sebatas berebut takhta. Kegaduhan hingga keterbelahan kita yang menguras energi tak lepas soal perebutan kursi itu. Negeri ini memang senyatanya surplus politisi, tapi defisit negarawan.
Presiden terpilih Jokowi sudah memaklumatkan apa yang akan ia lakukan periode kedua atau lima tahun mendatang. 'Tanpa beban' akan ia melakukan hal terbaik bagi negara. Artinya, ia tak akan banyak kompromi (politik) jika yang ia yakini memang terbaik. Ini butuh bukti. Jangan terulang seperti pada 2014, ia berjanji bikin kabinet ramping, nyatanya gemuk serupa kerbau bunting.
Di periode kedua, Jokowi justru 'harus penuh beban' membuat demokrasi makin berkualitas. Ia bertanggung jawab lahirnya banyak negarawan. Ia tak boleh tersandera 'hutang budi' politik. Sebaliknya, mengikhlaskan Jokowi memilih sosok terbaik duduk di kabinet untuk memajukan Indonesia, ialah juga kontribusi terbaik partai politik bagi negara.
Tantangan serius demokrasi kita ialah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang masih 'lampu merah'. Ini butir Pancasila yang terus 'dianaktirikan' dibandingkan sila-sila yang lain. Karena itu, Jokowi harus menjauhkan diri dari praktik demokrasi sebatas bagi-bagi kursi. Orientasinya haruslah demokrasi untuk kemakmuran dan keadilan bangsa.
Alangkah cangkat (dangkal) memaknai dukungan berarti bebas berebut takhta. Berebut kursi. Para pemilik takhta kian sejahtera, sedangkan rakyat (para pemilih itu) semakin dalam didera derita.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved