Menghidupkan Kebenaran

Djadjat Sudradjat Dewan Redaksi Media Group
08/1/2019 05:30
Menghidupkan Kebenaran
()

BAGI mereka yang bersekutu dengan kelancungan, ini era yang asyik untuk menjungkirbalikkan 'kebenaran'. Matinya kepakaran seperti ditulis Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise (2017)' memang telah jadi fenomena global. Literasi instan di media sosial menjadi pilihan masyarakat yang lemah tradisi membaca, pastilah juga Indonesia.

Seperti kerinduan sebagian kita akan Soeharto dan Orde Baru, bisa jadi karena pengaruh literasi instan itu. Soeharto ialah contoh diktator 'bertangan dingin'. Ia sukses merebut kekuasaan, didukung para jenderal, tapi satu per satu para loyalisnya disingkirkan. Ironisnya ada yang tak menyadari mereka tengah dibunuh masa depannya.

Namun, yang dinilai amat tega, ialah 'pembunuhan' karier tiga jenderal yang juga king maker, Ahmad Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Hartono Rekso (HR) Dharsono. Tiga jenderal Angkatan Darat itu sosok yang sukses menyingkirkan Soekarno dan membuka 'jalan tol' bagi Soeharto menjadi penguasa baru.

Salim Haji Said dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), mendeskripsikan dengan baik peran tiga jenderal itu di masa awal Orde Baru. Merekalah yang 'memaksa' Presiden Soekarno meninggalkan sidang kabinet. Hari itu juga keluar Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto: 'surat sakti' sang jenderal naik takhta.

Seperti umumnya para diktator, tak boleh ada orang berjasa sebesar gunung sekalipun, tumbuh besar, terlebih lagi berpotensi jadi 'matahari kembar'. Mereka harus disingkirkan dengan sejuta dalih. HR Dharsono lebih tragis lagi. Ia dipenjarakan karena memprotes pembantaian yang dilakukan tentara di Tanjung Priok.

Tak ada tangga memanjat untuk posisi lebih tinggi bagi mereka yang berpotensi menjadi pesaing, juga yang kritis. Soeharto mencabut seluruh tanda jasa mantan Panglima Kodam Siliwangi itu. Ia tak boleh dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Ali Murtopo, M Jusuf, Benny Moerdhani, contoh lain, tak terkecuali. Umumnya mereka tak menyadari kariernya tengah dibunuh. Tak ada tangga memanjat untuk posisi lebih tinggi bagi mereka yang berpotensi menjadi pesaing, juga yang kritis.

Soeharto belajar dari banyak pemimpin otoriter. Ia menjalankan kebijakan 'tangan besi bersarung sutera'. Penguasa Orde Baru ini akhirnya mengontrol negara dan tentara sebagai strategi menguasai Indonesia secara terus-menerus.

"Untuk waktu lama para jenderal Indonesia pada umumnya 'menderita' kesadaran palsu. Mereka merasa dan bersikukuh dan memandang Soeharto masih bagian dari tentara yang berkuasa melaksanakan cita-cita yang mendasari pemerintahan yang dirancang ABRI pada 1966." (Hlm 20).

Pengakuan mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen TNI (Pur) Harsudiono Hartas, salah satu contohnya. Ia yang semula marah pada kelompok sipil yang kritis pada Soeharto, dengan nada geram akhirnya menyadari, sang presiden lah yang merusak TNI.

Soeharto kerap membiarkan para jenderal 'berkelahi' saling menghancurkan. Ia tak mencari solusi. Melihat cara menyingkirkan para loyalisnya, membuktikan ancaman terhadap takhta Soeharto berasal dari militer sendiri. Tak sedikit contoh di banyak negeri, para jenderal mengudeta para bosnya. Soeharto tak mau mengambil risiko.

Daya rusak tinggi juga datang dari Dwi Fungsi ABRI yang ditafirkan Soeharto. Tentara tak hanya menguasai jabatan sipil, tapi juga amat dominan di partai penguasa, Golkar--yang tak mau disebut partai. Padahal, di DPR tentara dan polisi juga mempunyai fraksi sendiri dari proses penunjukan. Jenderal Angkatan Darat dengan jabatan tertentu, terlebih dekat atau direstui Soeharto, ialah 'jalan tol' menuju tangga kekuasaan yang lebih tinggi.

Itu sebabnya, reformasi TNI yang telah dilakukan ialah upaya memurnikan profesionalitas militer. Polisi dipisahkan dari TNI. Tiga angkatan (Angkatan Darat, Laut, Udara) tak lagi dikotakkan dengan kasta-kasta.

Salim Haji Said ialah wartawan senior yang punya akses bagus dengan kalangan militer di masa Orde Baru. Ia memperoleh Ph.D dari Ohio State University, AS, dengan disertasi peran politik militer Indonesia pada Revolusi Kemerdekaan.

Jika kini ada yang rindu pada Orde Baru mengelola negara, 'pemerintahan yang berwibawa', tentara yang 'ditakuti', sesungguhnya mereka rindu pada era kehancuran. Mereka tak memahami Soeharto berkuasa dengan 'bertangan besi bersarung sutra'. Ia jadi kerinduan berbahaya, menjadi ancaman serius demokrasi.

Karena itu, agar 'kebenaran' tak mati, para pakar orang-irang berilmu mesti terus menulis bicara. Yang waras tak boleh jadi pecundang oleh mereka yang pikirannya sakit.

 



Berita Lainnya
  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

  • Macan Kertas Pertimbangan MK

    21/7/2025 05:00

    ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.  

  • Debat Tarif Trump

    19/7/2025 05:00

    MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka? 

  • Jokowi dan Agenda Besar

    18/7/2025 05:00

    PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.

  • Obral Komisaris

    17/7/2025 05:00

    SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).

  • Uni Eropa, Kami Datang...

    16/7/2025 05:00

    Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.