Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
PUISI mestinya terlalu indah untuk mengandung kebencian. Apalagi, sengaja dipakai sebagai medium untuk mengekspresikan kebencian.
Kebencian tidak pernah indah. Tidak ada kebencian yang puitis. Dia produk kekeruhan, hiruk pikuk, kusut masai.
Berpuisi ialah berkesusastraan, yang menurut Goenawan Mohamad, merupakan hasil proses yang berjerih payah, proses yang minta pengerahan batin.
Pengerahan batin kiranya hanya dapat dilakukan dalam khusyuk. Bukan dalam ingar bingar. Dalam khusyuk, bukan saja orang berkonsentrasi, melainkan juga sekaligus terjadi penyerahan diri yang penuh.
Batin ialah pelabuhan diri yang bening, yang jujur. Hasil pengerahan batin terpadat dan terdalam berupa keindahan, bukan kebencian.
Maaf, pengerahan pikiran kiranya lebih mudah dilakukan jika dibandingkan dengan pengerahan batin. Pengerahan pikiran dapat dilakukan di mana saja, termasuk dalam kebisingan, dan untuk apa saja, termasuk berupa keperluan energi negatif. Hasilnya pamflet, bukan puisi.
Kebohongan, misalnya, bermula dalam pikiran. Bukan dalam batin karena batin menolaknya. Apakah maknanya ketika kita membahasakan diri 'berpikir positif'? Bukankah karena memang ada (bahkan mungkin banyak) yang 'berpikir negatif'?
Yang tersakiti oleh pikiran negatif ialah hati, bukan batin. Kalau kekalahan dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan, orang akan melakukan segala hal untuk menang. Termasuk menyakiti orang lain.
Kiranya itulah yang terjadi dalam kompetisi dan kontestasi pemilihan presiden. Maka dari itu, lahirlah puisi kebencian yang pasti bukan hasil proses yang minta pengerahan batin, melainkan hasil proses yang minta pengerahan energi pikiran negatif.
Kebencian tidak butuh pijakan. Ambil contoh dua berita yang beredar Senin (3/12) di detik.com. Yang pertama melansir data Reuters, bahwa dolar AS berada di level Rp14.225. Level itu disebut sudah jauh lebih rendah daripada posisi penutupan sebelumnya Rp14.302. Dengan kata lain, 'hari itu' rupiah perkasa.
Berita yang kedua Wakil Ketua DPR Fadli Zon menjelaskan soal lagu dan klip video Sontoloyo, yang dibuat berdasarkan sajak karyanya. Katanya, kata itu menarik karena itu kata mutiara pilihan Presiden Jokowi. "Jadi, waktu itu saya buatlah puisi." Salah satu liriknya, 'rupiah anjlok melemah'. Padahal, 'hari itu' ketika ia bicara dengan pers, ternyata rupiah menguat.
Kebencian memang tanpa pijakan. 'Hari itu' (3/12) ternyata rupiah perkasa. Terjadilah paradoks pasar dengan apa yang disebut Fadli Zon sebagai 'puisi'. Kenapa? Sebuah puisi yang merupakan hasil proses yang berjerih payah, proses yang minta pengerahan batin, nilai keindahannya berumur panjang, sangat panjang, bahkan estetika yang abadi. Nilainya tidak naik-turun, fluktuatif, sesuai dengan nilainya 'hari itu', dan nilai 'penutupan sebelumnya'.
Puisi hasil proses pengerahan batin tidak ada urusan dengan fluktuasi sebagai watak utama pasar bebas. Kebijakan moneter yang dipilih negara ini tidak mencantolkan rupiah pada kurs tetap, tetapi mengambang terkendali. Sebuah kebijakan negara yang memerlukan pengertian yang besar termasuk dari oposisi bahwa rupiah pun diwarnai dinamika pasar global.
Tentu saja orang bebas untuk berekspresi. Orang pun dapat mengklaim bahwa yang dihasilkannya puisi.
Sebaliknya, seraya mengenang keberangkatan sastrawan NH Dini, dan mengingat kembali karyanya Pada Sebuah Kapal, sejujurnya saya pun dapat bilang bahwa saya penganut paham puritan dalam mengapresiasi karya sastra, khususnya puisi. Terus terang saya alergis terhadap puisi kebencian.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved